Di sebuah kantor dengan AC yang lebih galak dari atasan, hiduplah seorang karyawan bernama Darto. Usianya tiga puluh lebih dikit, rambut udah mulai rebutan lahan, dan kopi jadi sahabat sejati yang selalu hadir di kala senin pagi datang tanpa permisi.

Suatu hari, Darto duduk di kubikelnya sambil merem melek. Tangan kanan nempel di mouse, tangan kiri nahan jidat yang seperti lagi dicubit jin ifrit.

“Bro, lu kenapa?” tanya Dedi, temannya yang hobi minum jamu tapi ogah olahraga.

“Migrain, bro. Dari tadi kepala gue cenat-cenut kayak dangdutan di pasar malam,” jawab Darto sambil merintih halus.

Ini namanya “Unwanted Guest” – Migrain datang tanpa diundang, pulang pun sesuka hati.

Dedi yang merasa dirinya dokter Google segera angkat bicara.

“Lu kurang tidur, bro! Makanya migrain!”

Darto geleng-geleng.

“Enggak juga. Tadi malam gue tidur jam sembilan, bangun jam enam. Total sembilan jam. Kalah bayi!”

Ini namanya “Misdiagnosis Gratisan” – Sok tahu tanpa pemeriksaan, hasilnya ngawur.

Lalu datanglah si Rina dari HR, yang selalu wangi lavender dan percaya essential oil bisa nyembuhin apa pun. Bahkan patah hati.

“Mas Darto, coba hirup ini ya. Katanya lavender bisa bikin rileks.”

Darto nurut. Dia hirup… terus bersin tujuh kali berturut-turut.

Ini namanya “Pengobatan Instan” – Belum tentu cocok, tapi tetep dicoba karena katanya orang-orang begitu.

Akhirnya, datanglah si bos. Pak Arman. Kemeja licin, rambut klimis, dan gaya jalan kayak model catwalk tapi sendal jepit.

“Pak Darto, kenapa murung kayak nasi goreng tanpa kecap?”

“Migrain, Pak.”

“Ah, itu pasti gara-gara kopi. Saya dulu begitu juga. Setelah saya berhenti ngopi dan mulai meditasi sambil denger suara jangkrik di YouTube, alhamdulillah kepala saya adem.”

Ini namanya “Testimoni Sepihak” – Karena berhasil di satu orang, semua orang disuruh nyoba.

Darto cuma bisa nyengir. Bukan karena sembuh, tapi karena lelah denger saran yang makin aneh. Akhirnya, dia googling sendiri. Dan di situlah dia nemu pencerahan.

Ternyata migrain itu punya banyak penyebab. Bukan cuma satu-dua. Tapi bisa sepaket kayak isi kotak nasi kondangan.

Mari kita intip isi “kotak migrain” ini:

  1. Faktor Genetik.
    Kalau orang tuamu punya riwayat migrain, kemungkinan besar kamu juga akan dapet “warisan” itu. Ini namanya “Family Package” – Warisan tak kasat mata, tapi terasa nyata.
  2. Perubahan Hormon.
    Khusus wanita, hormon itu bisa kayak sinyal Wi-Fi: kadang kuat, kadang ilang. Saat menstruasi, hamil, atau menopause, kadar estrogen bisa berubah drastis dan memicu migrain.
  3. Pola Tidur Berantakan.
    Tidur terlalu sedikit atau bahkan kebanyakan bisa jadi pemicu. Jadi bukan cuma begadang yang bikin migrain, tidur 12 jam juga bisa. Ironis, kan?
  4. Makanan dan Minuman.
    Coklat, keju tua, makanan tinggi MSG, makanan instan, minuman beralkohol, bahkan es krim – semuanya bisa jadi pemantik migrain.

Ini namanya “Makanan Pengkhianat” – Enak di lidah, tapi tikam dari belakang.

  1. Stres Berkepanjangan.
    Kerjaan numpuk, drama kantor, dan mantan yang tiba-tiba muncul di IG – semua itu bisa nyulut stres, lalu stres menyulut migrain. Ini seperti “Api Kecil Jadi Besar” – dari hal kecil bisa jadi petaka.
  2. Cahaya Terlalu Terang atau Suara Berisik.
    Ruangan terang banget atau suara berisik bisa bikin kepala berontak. Migrain emang agak manja – sedikit gangguan aja bisa ngamuk.
  3. Perubahan Cuaca.
    Tiba-tiba panas, lalu hujan, lalu panas lagi – kepala bisa kaget. Ini bukan karena cuaca galau, tapi karena otak kita sensitif banget sama tekanan udara.

Ini namanya “Alam Ikut Andil” – Bukan hanya tubuh, cuaca pun bisa jadi tersangka.

Setelah baca semua itu, Darto nyadar: “Oalah… ternyata bukan cuma satu hal doang yang bikin gue cenat-cenut. Bisa jadi semua ikut andil. Pantes aja kepala gue berasa kayak tamborin ditabok gendang.”

Akhirnya, dia putuskan buat lebih hati-hati. Mulai tidur teratur, ngurangin makanan instan, dan mencoba olahraga ringan (walau larinya masih kalah sama kura-kura pensiun).

Ini namanya “Self Awareness” – Pahami tubuh sendiri sebelum nyalahin yang lain.

Di akhir hari, migrain Darto mulai mereda. Bukan karena minyak lavender atau suara jangkrik digital, tapi karena dia akhirnya paham: kepala punya bahasa sendiri, dan kita harus mau belajar menerjemahkannya.

Jadi, kalau kamu sering migrain, jangan langsung nuduh stres atau laptop jelek. Bisa jadi penyebabnya jauh lebih kompleks. Dan kalau kamu nggak yakin, ya… ke dokter lah, jangan ke teman yang cuma modal “katanya”.

Karena ini namanya “Better Safe Than Sorry” – Lebih baik periksa daripada cuma nebak-nebak sambil meringis.

Sekian kisah Darto hari ini. Semoga kamu yang lagi baca ini, gak lagi migrain. Tapi kalau iya, semoga kamu juga nemu jawabannya.

Dan ingat…
Migrain bukan lelucon, tapi bukan berarti harus ditangisi juga.
Kadang, kepala cuma pengen didengar.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *