Di sebuah kota kecil yang katanya ingin jadi metropolitan, hiduplah seorang bapak-bapak yang hobi nonton video “Makeover Rumah Murah” di YouTube. Namanya Pak Lurah. Walau bukan lurah beneran, tetangga-tetangga memanggilnya begitu karena suka ngatur—dari urusan gorong-gorong mampet sampai warna cat teras yang dianggap “menyimpang dari estetika gang”.
Suatu hari, Pak Lurah kedatangan tamu: keponakannya yang baru lulus arsitektur dan pulang kampung. Anak ini, sebut saja Bintang, datang dengan semangat renovasi membara. Begitu masuk rumah, dia langsung berseru,
“Om! Rumah ini potensial banget, tinggal ditempel wallpaper! Dijamin ala-ala Korea langsung!”
Pak Lurah manggut-manggut, sambil lirak-lirik dinding ruang tamu yang warnanya udah gak bisa didefinisikan lagi—antara putih bekas, abu-abu nyaris hitam, dan noda-noda misterius seperti peta dunia.
Tapi ada satu masalah. Temboknya lembab. Bukan lembab yang malu-malu. Tapi lembab yang udah niat. Ada jamur tumbuh di pojok, dan dinding kadang berasa dingin pas disentuh, padahal AC gak pernah dinyalain karena tarif listrik naik mulu.
Bintang tetap optimis.
“Kita keringin dulu pakai hairdryer, terus tempel wallpaper bermotif bata-bata Eropa! Keren! Estetik! Instagramable!”
Ini namanya: “Overconfidence by Aesthetics” – Lebih percaya ke tampilan luar daripada kondisi dalam.
Tapi si Pak Lurah bukan orang kemarin sore. Dia langsung jawab:
“Nak, itu dinding bukan muka. Gak bisa ditutupin pakai skincare dan filter doang. Mau secantik apapun wallpapernya, kalau temboknya basah, ya tetep jeblog.”

Ini namanya: “Wisdom of Old Wall” – Kadang pengalaman rumah lebih banyak dari buku kuliah.
Tapi karena keponakan ini keras kepala, eksperimen pun dimulai. Hairdryer nyala, lem wallpaper keluar, wallpaper tempel. Satu hari penuh kerja keras. Hasilnya? Sekilas tampak kayak apartemen artis TikTok.
Seminggu kemudian, wallpaper mulai menggelembung. Sudut-sudutnya mengelupas. Motif bata-bata jadi mirip wajah zombie—mengelupas, berlubang, dan berjamur.
Ini namanya: “Reality Slaps Back” – Ketika estetika tidak bisa menutup kelembapan.
Pak Lurah hanya tersenyum bijak sambil berkata,
“Wallpaper itu kayak hubungan: kalau dasarnya rapuh dan penuh masalah, secantik apapun penampilannya, gak akan tahan lama.”
Bintang tertunduk. Tapi belum menyerah.
“Oke deh, Om. Kalau gitu kita pasang dulu lapisan anti lembab sebelum wallpaper.”
Pak Lurah jawab sambil nyeruput kopi hitam:
“Lah dari tadi, itu yang Om tunggu. Kalau mau wallpaper tahan, ya bersihin dulu masalahnya. Temboknya dikikis, dikeringin beneran, dikasih pelapis anti air, baru deh pasang yang manis-manis.”
Ini namanya: “Fix The Root Before The Fruit” – Jangan tempel solusi cantik di atas masalah lama.
Dan benar saja. Setelah proses pengeringan, pelapisan waterproofing, dan sedikit biaya tambahan (plus tiga kali ke toko bangunan karena lupa beli kuas), akhirnya wallpaper bisa nempel manis dan tahan. Bahkan pas musim hujan, wallpaper tetap tegap berdiri—lebih tegar dari cinta bertepuk sebelah tangan.
Moral dari kisah ini?
Kalau ada yang nanya, “Tembok lembab apa bisa dipasang wallpaper?” Jawabannya: BISA, asal disiapin dulu.
Jangan mentang-mentang lihat Pinterest langsung ngotot eksekusi. Tembok lembab itu kayak masa lalu yang belum selesai: kalau gak diberesin, bakal terus bocor ke mana-mana.
Ini namanya: “Preparation Beats Decoration” – Persiapan lebih penting daripada penampilan.
Dan satu lagi pesan dari Pak Lurah:
“Jangan cuma peduli dinding luar, cek juga isi dalamnya. Kadang kelembapan itu datang dari pipa yang bocor diam-diam. Kayak orang, kadang kelihatannya baik-baik aja, tapi hatinya lagi rembes.”
Ini namanya: “Spiritual Waterproofing” – Hidup juga butuh pelapis, supaya gak gampang lembab sama masalah kecil.
Jadi, kalau kamu punya tembok lembab, jangan langsung panik. Cek dulu sumbernya, keringkan dengan benar, kasih pelapis tahan air, baru deh silakan pilih wallpaper motif bunga, bata, atau bahkan kucing lucu-lucu.
Tapi ingat: jangan pernah tempel apa pun di atas masalah. Termasuk di hidupmu sendiri.
Karena kata Pak Lurah sambil ngelap keringat:
“Wallpaper itu kayak topeng. Bisa bikin orang kagum, tapi cuma sementara. Tembok sehat itu investasi jangka panjang, bukan sekadar gaya-gayaan.”
Dan itu namanya: “Home Improvement Philosophy” – Renovasi bukan soal menutupi, tapi memperbaiki.
Seketika, Bintang hanya bisa mengangguk sambil pelan-pelan buka YouTube, cari video: “Cara mengatasi tembok lembab sebelum pasang wallpaper”.
Dan Pak Lurah?
Dia lanjut ngopi, sambil melirik tembok. Kali ini bukan karena lembab, tapi karena bangga. Rumahnya jadi, dan pelajaran hidup pun dibagi.
Tamat.