Di sebuah komplek perumahan yang warganya hobi tukar-menukar info kesehatan dari grup WhatsApp, hiduplah seorang emak-emak tangguh bernama Bu Retno. Umurnya 45 tahun, tapi semangatnya seperti anak kos baru dapet transferan. Suatu hari, dia datang ke arisan bulanan dengan wajah cerah dan tubuh yang jauh lebih langsing dari bulan lalu.
“Retnooo! Lo ngapain sih? Turun berapa kilo tuh?!” tanya Bu Lia, sambil ngunyah risol ketiga.
Dengan gaya kayak habis menang tender proyek, Bu Retno menjawab santai, “Gue puasa intermiten.”
Semua langsung diem. Risol berhenti dikunyah. Bahkan yang lagi mainan HP, mendadak fokus.
“Puasa inter apa?” tanya Bu Rani yang biasanya lebih tertarik ngomongin drama Korea.
“Intermiten. Jadi gue makan cuma jam 12 siang sampe jam 8 malam. Sisanya? Minum air putih doang,” jelas Bu Retno.
Ini namanya “Time Restriction Flexing” – Membuat semua orang kagum hanya dengan membatasi waktu makan.
Tapi seperti biasa, di mana ada informasi viral, di situ muncul kontra-konteran. Pak Tono, suami Bu Retno, yang doyan debat karena langganan kanal YouTube teori konspirasi, langsung buka suara malamnya.
“Lah, kamu yakin sehat? Jangan-jangan itu cuma tren kayak infused water, detox lemon, atau makan rumput laut Jepang yang katanya bisa bikin glowing…”
Bu Retno menjawab tenang, “Tenang, No. Banyak jurnal bilang ini bisa ngurangin risiko diabetes, memperbaiki metabolisme, dan memperlambat penuaan.”
Pak Tono nyengir, “Ya iya, kalau makannya real food. Bukan nasi uduk, gorengan, sama boba waktu jendela makan…”
Ini namanya “Selective Truthing” – Ngambil yang enak dari fakta, tapi ngelupain bagian yang gak sesuai nafsu.
Sementara itu, di sudut rumah yang lain, anak sulung mereka, Dinda, yang lagi kuliah gizi, baru pulang dan mendengar percakapan hangat orang tuanya.
“Mah, pah… Puasa intermiten itu bukan sulap. Bener, bisa bantu nurunin berat badan dan bahkan ngaktifin proses yang namanya autophagy, semacam pembersihan sel-sel rusak. Tapi kuncinya tetap: apa yang dimakan saat jendela makan.”
Bu Retno langsung refleksi, “Berarti selama ini, ayam geprek level 10 jam 7 malam itu…”
“Ya… Bukan salah ayamnya, Mah. Tapi kombinasi lemak, minyak, pedes, sama gula dari es teh manis itu yang ngelawan efek puasanya.”
Ini namanya “Niat Mulia, Eksekusi Zonk” – Maksud hati mau sehat, tapi eksekusinya malah bikin kolesterol menari.

Besok paginya, Bu Retno browsing lagi. Kali ini bukan cari menu sahur yang mengenyangkan, tapi daftar makanan pendukung anti-aging. Katanya sih, biar hasil puasanya maksimal glowing-nya.
Dia nemu sederet makanan yang bikin alisnya naik:
- Blueberry – katanya kecil-kecil cabe rawit. Antioksidannya bisa ngalahin usia.
- Ikan berlemak kayak salmon – Omega-3-nya bisa jadi serum dari dalam.
- Alpukat – lemak sehat yang katanya bisa bikin kulit lebih kenyal, bukan dompet lebih kering.
- Kacang-kacangan – kaya vitamin E dan bisa bantu regenerasi sel.
- Sayur hijau – selain bagus buat pencernaan, katanya sih bikin awet muda.
- Dan yang paling penting: air putih – ya masa iya puasa tapi minumnya es kopi susu doang?
Ini namanya “Supportive Allies” – Teman makan yang mendukung niat baik lo buat sehat dan awet muda.
Tiga minggu kemudian…
Di arisan berikutnya, Bu Retno datang dengan aura yang lebih kalem. Masih langsing, tapi kali ini bawa bekal sendiri: salad quinoa, dada ayam rebus, dan infused water dengan irisan lemon. Bukan karena pamer. Tapi karena belajar dari fase “makan semaunya di jam makan”.
“Lo masih puasa intermiten?” tanya Bu Rani sambil nyeruput kolak pisang.
“Masih. Tapi sekarang aku lebih mikirin apa yang masuk, bukan cuma kapan masuknya,” jawab Bu Retno sambil tersenyum kalem.
Ini namanya “Real Transformation” – Bukan sekadar ikut tren, tapi paham esensi.
Di akhir cerita, Pak Tono diam-diam juga mulai ikutan puasa intermiten. Tapi dia nggak bilang siapa-siapa. Cuma karena dia sadar: ternyata, ngurangin ngemil malam sambil nonton bola itu bikin perutnya gak se’advance’ dulu.
Dan Dinda? Lagi nyusun e-book soal “Puasa Intermiten dan Makanan Pendukungnya” buat tugas akhir. Judulnya?
“Jangan Cuma Puasa, Tapi Juga Makan Pintar.”
Ini namanya “Full Circle Learning” – Ketika satu rumah belajar bareng, bukan cuma ikut-ikutan.
Jadi, puasa intermiten itu efektif?
Iya, bisa banget. Tapi jangan cuma fokus di jam makan. Perhatikan juga apa yang dimakan dan kenapa kamu melakukannya. Karena pada akhirnya, niat baik tanpa strategi itu kayak treadmill: capek di tempat.
Dan soal anti-aging?
Bukan cuma soal tidak makan. Tapi soal memberi tubuh waktu istirahat, dan bahan bakar berkualitas.
Karena yang bikin kita tua lebih cepat bukan waktu, tapi pilihan-pilihan kecil yang salah terus menerus.
Ini namanya “Anti-Aging with Awareness” – Tua itu pasti, tapi sehat dan bahagia itu bisa dirancang.