Di sebuah gang sempit yang terlalu jujur untuk disebut elite, tinggal seorang tukang bangunan legendaris bernama Pak Kosim. Umurnya? Nggak jelas. Giginya? Tinggal dua. Tapi soal urusan plester-memplester, dia nggak main-main. Konon katanya, sebelum dinding jadi dinding, dia udah bisa nebak mana yang bakal lembab.
Suatu hari, datanglah seorang anak muda lulusan arsitektur luar negeri, lengkap dengan setelan jas abu-abu dan laptop penuh grafis 3D.
“Pak, saya mau renovasi rumah orang tua. Dindingnya lembab. Saya mau pake plester jenis XZ-9000, buatan Jerman.”
Pak Kosim langsung garuk-garuk kepala. Bukan karena bingung, tapi karena ketombe.
“Nak,” katanya pelan sambil narik napas panjang, “kalo urusan dinding lembab, yang penting bukan merek. Tapi ngerti kelembaban itu kayak apa.”
Ini namanya “Wisdom over Branding” – Kadang yang tua itu bukan kuno, tapi udah kenyang asam garam dan rembesan air dari dinding tetangga.
Si anak muda ngangguk, walau mukanya masih nyimpen ekspresi “Saya tahu lebih banyak dari Anda.” Tapi Pak Kosim lanjut, ngambil sebatang rokok dan mulai ceramah sambil ngelus dinding tua yang udah keriput kayak pipi mantan mertua.
“Dinding lembab itu kayak hati yang diselingkuhin. Keliatannya baik-baik aja, tapi dalemnya rapuh. Nah, plester terbaik itu bukan yang cuma nambal, tapi yang ngerti gimana cara napas bareng dinding.”
Ini namanya “Matching Soulmate” – Nyari plester tuh kayak nyari jodoh. Harus nyambung sama kondisi dalam dan luar.
Jadi apa dong plester terbaik?
Kata Pak Kosim, pilih yang berpori dan bisa ‘bernapas’, misalnya plester semen-lime (kapur). Nggak usah lebay pengen yang anti-air total, nanti malah kelembaban ngumpul di dalam kayak uneg-uneg yang nggak pernah dikeluarin.
“Pakai semen biasa? Boleh. Tapi tambahin kapur biar dia fleksibel. Mau pake plester waterproof? Tunggu dulu! Itu kayak pake parfum buat nutupin bau badan tanpa mandi. Awalnya wangi, tapi lama-lama busuk juga.”

Ini namanya “Don’t Fake It, Fix It” – Jangan cuma nutup masalah. Selesaikan dari akar.
Si anak muda mulai kelihatan kagum. Laptopnya ditutup. Jasnya dilepas. Keringat mulai muncul karena ngobrol sama orang bijak memang kadang bikin panas dingin.
“Terus kalau dindingnya udah terlalu lembab, gimana Pak?”
Pak Kosim ngunyah gorengan dulu sebelum jawab. “Gampang. Kupas dulu lapisan plester lama, biar dindingnya bisa ‘healing’. Abis itu, baru plaster ulang pakai campuran yang ringan, berpori, dan nggak nyekap kelembapan. Kadang saya tambahin aditif anti jamur, tapi cuma sedikit. Kayak kasih cinta, jangan berlebihan, nanti lengket.”
Ini namanya “Give Space to Breathe” – Bahkan dinding pun butuh ruang untuk sembuh.
Lalu si anak muda nanya pertanyaan terakhir. Pertanyaan yang membuat semesta sejenak terdiam.
“Kalau begitu… kenapa banyak tukang asal plaster aja? Padahal rumah orang jadi korban.”
Pak Kosim menghela napas. Lalu jawab sambil menatap langit yang mendung seperti dinding belum diplester.
“Karena banyak yang kerja cuma buat nutupin tembok, bukan memperbaiki rumah. Mereka nggak tahu, di balik dinding yang lembab, ada hati pemilik rumah yang udah capek beresin rembesan tiap musim hujan.”
Ini namanya “Integrity in Craft” – Pekerjaan yang baik lahir dari niat yang tulus, bukan cuma nyari upah.
Dan begitulah, renovasi rumah si anak muda dimulai bukan dari alat berat, tapi dari hati yang mulai paham bahwa dinding lembab itu bukan sekadar masalah bangunan, tapi juga simbol betapa pentingnya memahami dan merawat sesuatu dari akarnya.
Hari itu, Pak Kosim bukan cuma ngajarin cara milih plester, tapi juga ngajarin cara hidup:
– Jangan nutupin luka, rawat sampai sembuh.
– Jangan percaya merek doang, pahami fungsinya.
– Dan yang terpenting: Plester terbaik adalah yang tahu kapan harus diam dan kapan harus mengeluarkan isi.
Jadi, kalau kamu sekarang lagi panik karena dinding rumah rembes, jangan buru-buru cari produk mahal. Duduk dulu. Lihat dulu. Dengar dulu. Karena kadang, jawabannya bukan di toko bangunan. Tapi di orang tua kampung yang udah ngobrol sama dinding lebih lama daripada kamu ngobrol sama pasangan.
Dan itulah kenapa, Pak Kosim tetap jadi legenda. Bukan karena dia tahu semua jenis plester, tapi karena dia ngerti dinding, kayak dia ngerti hidup.
Ini namanya “Respect the Real Expert” – Karena kadang, ilmu paling hebat nggak diajarkan di kampus, tapi diwariskan dari satu dinding ke dinding lain.