Di sebuah negeri penuh stres dan deadline tak masuk akal, hiduplah seorang karyawan bernama Rino. Tiap Senin pagi, kepalanya serasa ditabok kenyataan—bukan karena bos, tapi karena migrain yang datang lebih tepat waktu dari alarm HP.
Rino sudah mencoba semuanya. Dari minum kopi pahit tanpa harapan, sampai menempelkan koyo di jidat seolah-olah migrainnya tinggal di sana. Tapi hasilnya? Nihil. Yang ada, kepalanya makin cenat-cenut, dompet makin tipis, dan kesabarannya makin menipis.
Sampai suatu hari, Rino mendengar bisikan dari semesta. Bukan… bukan bisikan gaib. Tapi suara Bu Ijah, tukang sayur depan gang.
“Mas Rino, itu kepala sering pusing ya? Coba pijat refleksi aja. Katanya bisa ngilangin migrain tuh!”
Ini namanya Alternative Insight – Kadang solusi hidup datang dari yang kita anggap remeh.
Berbekal saran penuh keibuan, Rino pun melangkah ke sebuah tempat pijat refleksi. Baru masuk, dia disambut dengan senyum manis Mbah Darto, terapis senior yang katanya bisa deteksi penyakit cuma dari tapak kaki.
“Wah, kaki Mas ini keras sebelah. Pasti banyak pikiran.”
Ini namanya Holistic Judgment – Semua penyakit dianggap bersumber dari stres. Dan semua stres dianggap bersumber dari kantor.
Pijat dimulai. Jari-jari Mbah Darto menari di telapak kaki Rino seperti orkestra yang sedang marah. Sakitnya bukan main. Tapi anehnya, setelah sesi itu, kepala Rino terasa ringan. Seolah-olah ada kerikil yang keluar lewat ubun-ubun.
“Lho… kok enakan ya?” batinnya.

Besoknya, dia cerita ke temannya, Deni, yang langsung nyeletuk,
“Bro, lo tuh harusnya coba pijat akupresur, bukan refleksi. Itu titik tekan di kepala lebih efektif buat migrain!”
Ini namanya Pijatan Persaingan – Semua orang merasa punya pijat terbaik, tapi ujung-ujungnya malah bikin lo makin bingung.
Deni pun ngajak Rino ke tempat langganannya. Kali ini, suasananya lebih estetik. Musik instrumental, aroma lavender, dan terapis berseragam seperti siap wawancara kerja.
“Silakan tiduran, Pak. Kami akan stimulasi titik GB20 dan LI4. Ini titik yang sering dipakai untuk migrain.”
Rino manggut-manggut walau nggak ngerti. Yang penting enak. Tapi pas dipijat… yah, rasanya kayak dicubit mantan pas ketahuan selingkuh: perih tapi ngangenin.
Setelah dua kali sesi, Rino merasa baikan. Tapi… minggu depannya, migrain datang lagi. Kali ini lebih intens, seperti mantan yang ngetik “Kamu di mana?” jam 2 pagi.
“Ya ampun, balik lagi dong?” gumam Rino, hampir putus asa.
Tiba-tiba, datanglah pencerahan dari arah yang tak disangka-sangka. Tukang parkir di minimarket tempat Rino biasa beli paracetamol nyeletuk,
“Mas, coba deh pijat Thai Massage. Saya dulu juga sering migrain. Sekali dicelentik di leher, langsung plong!”
Ini namanya Street Wisdom – Kadang yang tidak berseragam malah punya saran yang berfaedah.
Rino coba lagi. Kali ini Thai massage. Lehernya ditarik, punggungnya dipelintir, bahkan ada momen di mana tubuhnya lebih lentur dari harga saham. Tapi… setelah sesi itu? Keajaiban terjadi. Migrainnya ilang. Beneran ilang.
“Ini nih! Ini baru pijat yang bener!” teriak Rino dalam hati, hampir nangis haru.
Malamnya, Rino mikir.
“Refleksi enak. Akupresur oke. Thai massage bikin plong. Tapi kenapa semua orang beda-beda ya?”
Dan dari sanalah ia menyadari:
Pijat terbaik untuk migrain bukan yang paling mahal, bukan juga yang paling hits di media sosial. Tapi yang paling cocok dengan tubuh dan pikiran lo.
Ini namanya “Personalized Therapy” – Karena tubuh bukan software, nggak bisa diselesaikan dengan satu ‘update’ untuk semua.
Sementara itu, Mbah Darto, Deni, dan tukang parkir—semua mengklaim bahwa cara merekalah yang paling ampuh.
Ini namanya Kompetisi Pijat Nasional – Di mana semua merasa ahli, tapi kepala lo tetap yang jadi korban.
Dan Rino? Dia akhirnya rutin Thai massage, refleksi sebulan sekali, dan sesekali akupresur kalau lagi promo.
Ini namanya Diversifikasi Kesehatan – Jangan taruh semua harapan pada satu jempol terapis.
Jadi…
Pijat apa yang terbaik untuk migrain?
Jawabannya: Yang cocok buat kamu.
Bukan yang katanya bagus. Bukan yang viral. Tapi yang bikin kamu pengen tidur siang setelahnya.
Karena buat orang yang kena migrain, satu jam tanpa rasa cenut-cenut itu… lebih berharga daripada diskon gajian.
Dan mungkin, yang kita cari selama ini bukan cuma pijat… tapi juga alasan buat istirahat sejenak dari hidup yang terlalu banyak notifikasi
Migrain itu kayak tamu tak diundang. Tapi kalau kita tahu cara menyambutnya (atau mengusirnya dengan halus), hidup bisa lebih damai. Kadang yang dibutuhkan bukan obat, tapi sentuhan. Sentuhan yang ngerti rasa.