Di suatu kota penuh kesibukan dan drama deadline, hiduplah seorang manusia bernama Dito. Karyawan kantoran biasa. Tapi satu hal yang luar biasa dari hidupnya: migrain yang datang nyaris tiap pekan, kadang tiap hari.

Bukan karena dia kurang kerjaan. Justru karena kerjaannya nggak pernah kurang. Dia udah coba semuanya—minum obat, terapi totok, bahkan sampai yoga sambil difotoin buat konten. Tapi hasilnya? Migrainnya tetap bandel kayak utang yang cuma dibayar cicilan bunga doang.

Satu hari, dia duduk di kantin kantor, nunduk sambil mijet pelipis. Datanglah si Nina, teman sekantor yang kalau jalan kayak bawa soundtrack sendiri.
“Dit, migrain lagi?”
Dito cuma angguk, lemah kayak sinyal pas mati lampu.

Nina langsung nyeletuk, “Coba lo tanya ke diri lo sendiri: migrain lo itu karena apa? Jangan-jangan bukan karena kurang tidur. Tapi karena lo terlalu sering pura-pura kuat.”

Ini namanya “Root Cause Analysis” – Kadang yang bikin sakit bukan karena fisik, tapi karena mental yang terus ditarik buat keliatan tangguh.

Tiap malam, Dito pulang kerja masih bawa laptop. Katanya sih WFH, padahal artinya “Work from Hancur”. Buka laptop, sambil nahan nyut-nyutan kepala. Ibunya udah bilang, “Kerja itu buat hidup, Nak. Bukan buat pingsan.”

Tapi Dito jawab sambil senyum kecut, “Tenang Bu, ini cuma tekanan darah… Eh, tekanan deadline.”

Ini namanya “Ignoring the Red Flags” – Udah dikasih sinyal sama tubuh, tapi kita ngotot bilang ini cuma angin lewat.

Besok paginya, Dito ke dokter. Setelah ditanya-tanyain kayak diinterogasi KPK, dokternya bilang, “Migrain kamu bisa karena faktor stres, kurang tidur, pola makan, atau… emosi yang dipendam.”

Dito bengong.

“Emosi dipendam bisa bikin migrain, Dok?”
“Bukan cuma bikin migrain. Bisa bikin kamu marah di dalam tapi senyum di luar. Dan itu tekanan paling jahat,” jawab si dokter.

Ini namanya “Emotional Debt” – Hutang perasaan yang lama-lama ditagih sama tubuh dalam bentuk rasa sakit.

Pulang dari dokter, Dito mikir.

Dia ingat pernah ngalah di kantor waktu idenya dicuri. Ingat waktu disalahin tim lain, tapi dia diem aja. Ingat juga waktu pacarnya ghosting tapi dia bilang ke semua orang: “Nggak papa, mungkin dia butuh waktu.”

Ternyata semua “nggak papa”-nya itu ngendap jadi satu: migrain.

Ini namanya “Politeness Penalty” – Terlalu sopan bisa bikin kepala jadi korban.

Dua minggu kemudian, Dito coba eksperimen. Tiap ngerasa pengen marah, dia tulis di catatan HP. Tiap ada yang nyebelin, dia tarik napas dan bilang, “Gue nggak harus tahan semua ini.”

Dia juga mulai tidur cukup, makan teratur, dan—ini paling penting—belajar bilang “nggak” tanpa rasa bersalah.

Ajaibnya, migrainnya mulai berkurang.

Ini namanya “Self-Compassion Therapy” – Menyayangi diri sendiri bukan berarti egois, tapi sadar kalau kepala butuh ruang buat bernapas.

Suatu siang, Dito duduk lagi di kantin. Kali ini bukan sambil mijet pelipis, tapi sambil makan donat.
Nina lewat, kaget lihat Dito senyum-senyum.
“Lho, udah sembuh?”
Dito nyengir, “Migrainnya belum 100% ilang. Tapi sekarang gue tahu, itu bukan cuma urusan kepala. Tapi juga isi kepala.”

Nina angguk pelan, lalu nyeletuk:
“Berarti lo udah naik level jadi manusia yang bisa ngerawat perasaan sendiri.”

Ini namanya “Personal Upgrade” – Sakit bisa jadi tanda naik kelas, asalkan kita belajar dari rasa sakit itu.

Jadi, migrain terus karena apa?

Mungkin karena kurang tidur. Mungkin juga karena lampu kamar terlalu terang. Tapi lebih dari itu…
Mungkin karena terlalu banyak “iya” saat harusnya “tidak”.
Terlalu banyak “gue kuat kok” saat sebenarnya mau nangis.
Terlalu banyak diam saat harusnya marah.
Dan terlalu takut dianggap lemah, padahal yang bener justru belajar mengakui batas.

Ini namanya “Being Honest With Yourself” – Obat paling mujarab adalah jujur pada diri sendiri.

Migrain nggak selamanya soal saraf kepala. Kadang, itu alarm jiwa yang bilang:
“Tolong, istirahat dulu. Lo bukan robot.”

Dan kadang, yang paling kita butuhin bukan resep obat. Tapi izin dari diri sendiri untuk berhenti jadi kuat terus-menerus


Migrain terus? Jangan cuma tanya dokter. Tanyain juga hati lo.
Siapa tahu, yang paling pengen istirahat itu bukan kepala. Tapi perasaan.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *