Di sebuah negeri bernama “Kehidupan Dewasa”, tinggal seorang rakyat jelata bernama Rani. Pekerja kantoran, gaji UMR, cicilan tiga jenis, dan yang paling rajin datang tiap minggu: migrain.

Migrain ini bukan tamu yang tahu diri. Datangnya suka tiba-tiba, pulangnya nggak pernah pamit. Kadang dia muncul saat Rani lagi ngejar deadline. Kadang pas hari libur, padahal mau healing. Kadang muncul bareng menstruasi, biar efek dramanya lengkap. Kadang juga muncul cuma karena Rani lupa minum air putih. Cuma karena itu doang.

Ini namanya “Invisible Intruder” – Si penyusup tak kasat mata yang bikin hidup jungkir balik.

Suatu pagi, Rani terbangun dengan kepala berdenyut kayak genderang perang. Cahaya matahari masuk lewat jendela, dan tiba-tiba mata kirinya terasa seperti ingin pensiun dini.

Ia membuka mata perlahan. Tiba-tiba suara motor lewat di depan rumah terasa seperti konser rock di dalam kepala. Bau nasi goreng dari dapur pun mendadak jadi biang kerok mualnya.

Itu bukan sakit kepala biasa, teman-teman.
Ini namanya “Migrain Kronis” – Si raja tega yang bertamu lebih dari 15 hari dalam sebulan, dengan minimal 8 hari gejala khas migrain. Udah kayak karyawan tetap, tapi nggak digaji dan nggak bisa resign.

GEJALA BUKAN SEKADAR SAKIT KEPALA

Kalau kamu pikir migrain itu cuma “kepala nyut-nyutan”, kamu perlu main ke rumah Rani sekali-kali.

Rani bisa melihat bintang-bintang di siang bolong, bukan karena romantis, tapi karena aura migrain yang bikin penglihatannya kayak efek kamera 360 derajat. Kadang muncul kilatan cahaya, kadang kayak lihat bayangan. Bukan hantu, bukan mantan. Migrain.

Ini namanya “Visual Trickery” – Ilusi optik yang datang bukan karena sulap, tapi karena sistem saraf yang lagi ngamuk.

Belum lagi, setiap kali migrain menyerang, Rani jadi sensitif sama cahaya, suara, bahkan bau. Mending kalau cuma bau duren. Tapi bau parfum rekan kerja pun bisa bikin dia pengen muntah. Sungguh bukan kehidupan yang ideal buat manusia yang kerja di kantor open space.

TRIGERNYA SEANEH ITU

Jangan dikira penyebab migrain cuma stres. Oh tidak.

Kadang migrainnya datang hanya karena Rani makan keju. Atau karena begadang nonton drakor. Atau karena naik motor kena angin malam. Atau… karena terlalu bahagia. Iya, terlalu bahagia.

Ini namanya “Happiness Hangover” – Efek samping dari terlalu semangat menjalani hidup.

Migrain kronis memang licik. Dia bisa dipicu oleh hormon, makanan, cahaya terang, suara keras, bahkan cuaca. Ujan dikit? Migrain. Terik dikit? Migrain juga. Kalau migrain punya status WA, pasti tulisannya: “Segala sesuatu bisa jadi alasan aku datang”.

DOKTER VS GOOGLE

Rani sempat ke dokter. Dikasih obat. Efeknya? Ya, lumayan. Tapi migrain ini bukan cuma soal obat. Dia soal gaya hidup. Tidur harus cukup, makan harus teratur, air putih harus rajin, stres harus dikelola. Sementara hidup Rani? Ah, kamu tahu lah…

Ini namanya “Reality vs Idealism” – Antara tahu yang benar, tapi hidup berkata lain.

Akhirnya, Rani sempat coba alternatif: minyak esensial, yoga, akupuntur, sampai puasa media sosial. Sebagian bantu, sebagian malah nambah pusing. Tapi satu hal yang pasti, dia mulai paham satu hal penting:

Migrain bukan penyakit remeh yang bisa dianggap angin lalu.

MIGRAIN DAN STIGMA

Lucunya, di kantor, migrain dianggap “alasan klise” buat pulang cepat.
“Paling-paling Rani males kerja, pura-pura sakit kepala…”
Sementara si bos bisa cuti tiga hari karena asam urat naik pas makan gulai kambing.

Ini namanya “Health Inequality” – Ketika sakit orang lain dianggap serius, tapi sakitmu dianggap akting.

Padahal, setiap kali Rani kena migrain, dia harus memilih: kerja sambil nyengir nahan sakit, atau tidur di bawah meja sambil nunggu obat bekerja. Nggak ada yang ideal, tapi hidup jalan terus.

SIAPA SEBENARNYA PENYAKITNYA?

Sampai satu hari, migrain datang tepat saat Rani presentasi di depan klien. Setengah jam sebelum masuk ruangan, mata mulai burem, kepala kayak diikat tali tambang, dan lidah jadi kelu. Tapi Rani tetap maju. Dengan riasan yang udah luntur dan suara pelan, dia bicara sebaik mungkin.

Dan klien? Tertarik. Proyek jalan.
Sore itu, Rani nangis di toilet. Bukan karena sakit kepala, tapi karena merasa menang melawan sesuatu yang nggak kelihatan tapi begitu kejam.

Ini namanya “Silent Victory” – Kemenangan yang nggak dirayain, tapi terasa dalam.

Jadi, migrain kronis itu seperti apa?

Bayangkan kamu punya musuh yang bisa muncul kapan aja, dari hal sesederhana cahaya lampu sampai makanan favorit. Musuh yang bikin kamu kehilangan momen, kehilangan jam kerja, kehilangan energi. Tapi juga musuh yang akhirnya bikin kamu lebih kenal diri sendiri, lebih bijak, lebih tangguh.

Dan kadang, lebih sabar dibanding orang yang sehat tapi hidupnya isinya ngeluh mulu.

KESIMPULANNYA?

Migrain kronis bukan cuma soal nyeri kepala. Tapi soal perjuangan diam-diam, soal energi yang terkuras tanpa terlihat, dan soal bagaimana seseorang bisa tetap berdiri, meski kepalanya seolah ditarik gravitasi.

Jadi, kalau kamu punya teman yang sering bilang, “Aku migrain nih…”,
jangan anggap enteng.

Bisa jadi dia bukan cuma sedang sakit kepala.
Tapi sedang melawan perang yang kamu nggak pernah lihat.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *