Di sebuah rumah kontrakan, pada suatu malam yang mendung tapi nggak hujan, seorang pekerja kantoran bernama Aldi terbangun dari tidurnya. Bukan karena lapar, bukan juga karena mimpi dikejar debt collector, tapi karena kepalanya… cenut-cenut di sebelah kanan.
Aldi bangkit sambil meringis. Pegang kepala, terus ngomong sendiri kayak orang yang abis diputusin tapi belum siap move on:
“Ya Allah… kenapa mesti di sebelah kanan? Apa karena aku terlalu sering mikir yang berat-berat? Atau karena bosku tiap pagi selalu duduk di sebelah kanan pas briefing?”
Aldi pun buka HP, cari di Google: “Migrain kanan karena apa?”
Lalu muncullah teori-teori medis yang panjang dan rumit, kayak surat tugas anak magang yang nggak pernah selesai dibaca sampai titik terakhir.
Ada yang bilang migrain sebelah kanan bisa karena gangguan saraf, ada yang nyebut masalah hormon, stres, kurang tidur, atau bahkan salah posisi tidur. Tapi Aldi nggak puas. Karena menurut dia, “Kalau semua orang yang stres kena migrain, se-RT udah langganan klinik neurologi semua!”
Akhirnya, dia menyimpulkan:
“Migrain kanan itu bukan sekadar sakit kepala. Itu kode dari semesta.”
Besok paginya, Aldi cerita ke temannya, Dani, si karyawan senior yang lebih berpengalaman hidup—bukan karena sering ikut pelatihan, tapi karena sering diputusin pacar dan tetap kuat.
“Bro, gue yakin migrain itu tanda. Tanda kalau hidup gue udah kebanyakan mikir hal yang nggak penting. Kayak mikirin omongan tetangga yang bilang gue udah tua tapi belum punya mobil. Lah, dia sendiri naik motor nyicil 8 tahun!”
Dani cengengesan sambil nyeruput kopi sachet rasa durian.
“Gini lho, Di. Sakit kepala itu bisa muncul karena dua hal. Pertama, lo terlalu banyak menahan. Kedua, lo terlalu banyak memendam. Lo bayangin otak lo kayak kosan sempit tapi dipaksa muat lemari, kulkas, dan drum band. Ya sempit lah!”
Aldi manggut-manggut.
“Berarti ini bukan migrain medis, tapi migrain emosional?”
“Bisa jadi,” kata Dani. “Coba inget-inget deh, lo belakangan ini terlalu banyak nyimpen marah, nyimpen kecewa, nyimpen gengsi. Kepala lo jadi gudang, bro. Bukan tempat mikir lagi.”
Di sisi lain kota, seorang ibu rumah tangga bernama Bu Tatik juga ngalamin hal serupa. Migrain sebelah kanan. Tapi beliau beda dari Aldi. Nggak pakai Google. Beliau langsung nyalahin kompor gas.

“Pasti gara-gara kemarin ngulek sambel sambil masak sayur asem, terus anak-anak teriak-teriak, terus suami nanya remote TV, terus aku lupa udah masukin garam berapa kali. Haduuh… kepala bagian kanan langsung kayak dipukul ulekan!”
Ini yang dinamakan “Overmultitasking Syndrome” – penyakit yang hanya dialami oleh para emak-emak dengan level kemampuan seperti superhero, tapi tanpa jubah dan tanpa waktu istirahat.
“Makanya, Tat,” kata tetangganya yang juga punya pengalaman migrain sebelah kanan, “kalau lagi masak jangan sambil mikir utang koperasi, sambel bisa gosong, kepala bisa kebakar!”
Bu Tatik cuma nyengir.
“Kalau gosong bisa diangkat. Kalau migrain? Paling-paling dikompres, besok kambuh lagi.”
Sore harinya, Aldi kembali mengeluh. Kali ini di depan kaca.
“Mungkin migrain ini bukan karena kurang tidur. Tapi karena terlalu banyak pura-pura kuat.”
Dia terdiam sebentar.
Baru sadar, beberapa minggu terakhir, dia kerja lembur, ikut bantu adiknya yang lagi skripsi, ngurusin drama keluarga, dan tetap pasang senyum kayak lagi iklan pasta gigi.
“Gue bukan robot. Tapi kadang hidup bikin gue kayak aplikasi yang dipaksa update padahal memorinya udah penuh.”
Malam itu, Aldi menulis di buku jurnalnya:
“Migrain kanan bukan cuma soal syaraf. Bisa jadi itu alarm. Alarm dari dalam diri, yang bilang:
‘Bro, tolong istirahat. Jangan semua dipikirin. Kadang, hidup nggak butuh solusi. Cuma butuh kamu duduk, tarik napas, dan berhenti jadi sok kuat.’”
Dan siapa sangka? Setelah nulis itu dan tidur nyenyak, paginya Aldi bangun tanpa migrain. Kepala kanan yang semalam cenut-cenut, kini adem kayak abis disemprot angin AC.
“Jangan-jangan yang bikin sakit bukan masalahnya… tapi karena gue terus nyimpen semuanya sendirian.”
Kesimpulan?
Migrain kanan bisa datang karena banyak hal. Bisa karena syaraf, bisa karena fisik, bisa juga karena perasaan yang kelamaan numpuk. Tapi satu hal yang pasti:
Jangan anggap remeh tanda dari tubuhmu. Kadang, tubuh lebih jujur daripada pikiran.
Dan kalau kamu ngerasa migrain itu sinyal, bukan sekadar sakit, mungkin udah waktunya berhenti sejenak. Istirahat. Ngobrol. Nangis kalau perlu. Nggak usah gengsi.
Karena kadang, yang kamu butuhin bukan paracetamol…
Tapi pelukan.