Di suatu malam yang tak begitu dingin dan juga tidak terlalu hangat—karena AC-nya rusak—seorang pria bernama Dodo sedang merebahkan diri di sofa sambil memegang pelipis.

“Kenapa, Do?” tanya istrinya sambil bawa segelas air putih.

“Pala gw cenut-cenut… Kayaknya migrain nih,” jawab Dodo sambil merem meyakinkan, seolah mau manggil rasa iba dari semesta.

Istrinya, yang kebetulan baru saja nonton video TikTok soal pijat refleksi, langsung duduk di belakang Dodo dan mulai mijet pelipis suaminya. Dengan penuh niat dan setengah pengetahuan.

“Eh… Eh! Sakit, Mah! Tambah cenut-cenut malah!”

Ini namanya “Niat Tak Sejalan dengan Ilmu” – Ketulusan itu penting, tapi tetap harus dikasih tahu jalur yang benar.

Dodo pun akhirnya mengambil jalan ninja: browsing di Google. Pertanyaannya simpel tapi penuh harapan: Migrain, apa boleh dipijat?

Jawaban dari dunia maya pun beragam. Ada yang bilang boleh, asal titiknya tepat. Ada yang bilang jangan, nanti makin parah. Ada juga yang bilang mending disugesti aja pakai lagu pengantar tidur 432 Hz.

Ini namanya “Google Paradox” – Satu pertanyaan, sejuta jawaban. Tapi makin baca, makin bingung.

Akhirnya Dodo mutusin buat pergi ke tukang pijat langganan, Bang Ujang, yang katanya bisa ngobatin segala penyakit, dari encok sampai patah hati.

“Bang, saya migrain. Bisa dipijat nggak?”

Bang Ujang diem sejenak. Lalu bilang dengan suara bijak level kiai desa:

“Bisa, tapi jangan sembarangan. Migren itu bukan cuma pegel biasa. Itu urusan saraf, aliran darah, stres, hormon, bahkan kadang urusan mantan yang nggak selesai.”

Dodo bengong. Ini tukang pijat apa psikolog?

Bang Ujang pun mulai menjelaskan dengan analogi.

“Bayangin otak lo kayak kota Jakarta, Do. Kalau macet, lo nggak bisa asal dorong mobil di tengah jalan. Bisa nambah ribet. Nah, pijat itu kayak polisi lalu lintas. Kalau dia ngerti medan, bisa bantu ngatur aliran. Tapi kalau asal nyuruh belok, bisa makin parah.”

Ini namanya “Pijat dengan Peta” – Pijat boleh, asal yang mijat paham jalur saraf, bukan cuma modal otot dan minyak angin.

Lalu, Bang Ujang mulai mijat bagian bahu dan leher Dodo. Bukan pelipis. Katanya, sumber migrain itu bisa dari ketegangan di leher dan pundak yang ngebuat aliran darah ke otak jadi kayak jalanan berlubang.

“Kalau lo pegang kepala yang lagi nyut-nyutan langsung, itu sama aja kayak nginjek kabel putus. Bukan nyambungin, malah konslet,” jelas Bang Ujang sambil mijet titik di bawah tengkuk.

Dodo cuma bisa manggut-manggut. Antara paham dan ketiduran.

Ini namanya “Healing with Context” – Kadang yang sakit bukan di tempat yang lo rasain.

Setelah setengah jam mijet dan tiga kali kentut lepas dari tubuh Dodo, dia akhirnya merasa lebih ringan. Migraine-nya memang belum hilang total, tapi kepala udah nggak kayak mau meledak.

“Jadi intinya, Bang… migrain boleh dipijat?”

“Boleh, Do… asal bukan asal-asalan. Jangan mijet pelipis yang nyut-nyutan langsung. Fokus di titik yang berhubungan, kayak leher, bahu, dan punggung atas. Dan yang paling penting, tau penyebabnya. Kalau migrain lo karena telat makan, ya yang disalahin bukan kepala, tapi jam makan lo yang ngaco.”

Ini namanya “Root Cause Awareness” – Obati yang jadi penyebab, bukan cuma yang kelihatan.

Dodo pun pulang sambil mikir. Selama ini, tiap sakit kepala langsung minta dipijet istri di pelipis. Ternyata, yang dia butuh bukan jari yang nekan-nekan pelipis, tapi jadwal tidur yang benar dan stres kerja yang dikurangi.

Dan mungkin, beberapa permintaan maaf ke tubuh yang sering dia anggap remeh.

Sementara itu, istrinya yang dari tadi nunggu kabar, langsung nyamperin.

“Gimana hasil pijatnya?”

“Lumayan. Tapi ternyata migrain tuh nggak bisa asal dipijet. Kayak hati manusia juga, Ma. Nggak bisa sembuh cuma dikasih sentuhan. Kadang butuh pemahaman yang lebih dalam.”

Ini namanya “The Deeper Massage” – Yang paling menenangkan kadang bukan sentuhan, tapi pengertian.

Jadi, kalau kamu migrain, jangan langsung asal mijet pelipis ya. Mending ke ahli, atau minimal istirahat dulu, cari tahu penyebabnya. Karena tubuh kita, sama seperti perasaan—nggak suka dipaksa tanpa dimengerti.

Dan siapa tahu, yang kamu butuh bukan pijatan di kepala, tapi waktu buat berhenti sebentar dan menarik napas panjang.

Kalau dipikir-pikir, hidup juga kadang kayak migrain. Nggak selalu datang karena satu sebab. Tapi bisa reda, asal kita tahu di mana harus mulai memperbaiki.

Akhir kata:
Migrain boleh dipijat… asal bukan oleh tangan yang sembarangan.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *