Di suatu malam yang lengang, ada seorang lelaki bernama Deni, sedang memegangi kepalanya sambil mengerang lirih. Di kamar yang hanya diterangi lampu meja, ia duduk di sudut ranjang, menggosok-gosok pelipis dengan minyak kayu putih sambil komat-kamit:

“Pijet kepala katanya bisa nyembuhin migrain… Tapi kok makin cenut-cenut ya?”

Ini namanya “Trial and Error” – Coba-coba tanpa tahu titiknya, hasilnya ya gitu-gitu aja.

Lalu datanglah istrinya, Rani, dengan gaya ala-ala terapis Instagram.

“Sayang, kamu tuh nggosoknya salah. Kepala tuh cuma efeknya doang. Yang perlu dipijat tuh tangan, kaki, bahkan belakang leher. Tubuh itu jaringan, bukan potongan lego.”

Ini namanya “Holistic Thinking” – Pikirin sistem, bukan cuma gejala.

Deni masih meringis. Tapi Rani sudah ambil posisi. Tangannya meluncur ke titik yang katanya sakral untuk penderita migrain: antara ibu jari dan telunjuk, di punggung tangan. Dia tekan perlahan, lalu gosok memutar.

“Namanya titik Hegu,” ujar Rani sambil tetap memijat.

Deni melotot.

“Hego? Nama kucing siapa?”

Rani langsung manyun. Tapi dia tetap profesional. Gosokan tetap jalan, walau suaminya nyebelin.

Ini namanya “Stay Calm and Continue the Mission” – Walau pasien nyebelin, pelayanan harus jalan.

Tak lama, Rani pindah ke titik berikutnya: bagian belakang leher, tempat otot trapezius yang suka ketarik saat stres. “Kalau kamu kerja sambil ngedesah karena capek, ya ini nih biangnya,” katanya sambil nyengir.

Deni hanya bisa mengangguk pasrah. Pelipisnya sudah tak sepanas tadi.

“Terus, kamu suka begadang, ya?” tanya Rani. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menuju tulang alis, tepat di pangkal hidung.

“Kita tekan sini juga, ini titik yang nyambung ke sinus dan syaraf mata. Bukan cuma buat migrain, tapi juga buat kamu yang hobi mantengin laptop tanpa istirahat kayak zombie.”

Ini namanya “Preventive Action” – Pijet bukan cuma buat nyembuhin, tapi juga buat mencegah.

Saat gosokan sampai ke telapak kaki, Deni refleks tertawa.

“Lho ini kenapa malah kaki?! Migrain tuh di kepala, bukan di jempol!”

Rani tertawa juga.

“Justru itu. Semua titik syaraf ada di telapak kaki. Kalau kamu pusing, bisa jadi ginjal kamu capek, atau sirkulasi kamu ngadat. Tubuh itu kayak jaringan WiFi. Kepala error bisa jadi karena modemnya di perut ngadat.”

Ini namanya “Connecting the Dots” – Cari akar masalah, bukan cuma perbaiki layar.

Malam makin larut. Tapi kepala Deni justru makin plong. Dia duduk bersandar, menarik napas panjang, dan berseru:

“Kenapa baru sekarang kamu kasih tahu?”

Rani menjawab santai, “Karena sebelumnya kamu terlalu percaya sama iklan daripada istrimu sendiri.”

Ini namanya “Trust the Real Expert” – Kadang yang paling ahli itu bukan yang bersertifikat, tapi yang tiap hari ngelihat kamu dari dekat.

Deni manggut-manggut. Ia mulai sadar kalau selama ini, tiap kali migrain datang, dia sibuk cari salep, obat, dan kopi hitam, tapi nggak pernah benar-benar paham dari mana datangnya rasa sakit itu.

Dia baru sadar kalau tubuh manusia bukan robot yang rusak satu bagian, tinggal diganti sparepart-nya. Tapi jaringan kompleks yang semuanya saling nyambung dan saling nyetir.

Jadi, kalau kamu juga sering ngerasa kepala kayak ditusuk jarum, jangan buru-buru panik atau minum obat sembarangan. Kadang, yang kamu butuhkan bukan resep mahal, tapi jempol yang tahu arah.

Karena titik-titik untuk mengatasi migrain itu ternyata tersebar. Di tangan, di leher, di alis, bahkan di kaki. Dan yang paling penting, harus ada orang yang tahu cara menyentuhnya. Bukan asal digosok, tapi dengan niat dan ketulusan.

Ini namanya “Healing Touch” – Sentuhan yang bukan cuma urat, tapi juga perasaan.

Sebelum tidur, Deni nyeletuk:

“Besok aku ajak teman-temanku ke kamu aja ya. Tapi kasih tarif dong. Kan ini udah kayak terapi profesional.”

Rani menggeleng sambil senyum:

“Tarifnya cuma satu. Jangan ngeluh dulu sebelum percaya dulu sama sentuhan.”

Ini namanya “No Pain, No Proof” – Percaya dulu, baru ngerti bedanya.

Dan malam itu, Deni tidur nyenyak. Tanpa migrain, tanpa ribut, tanpa overthinking.

Karena kadang, solusi itu bukan di kepala. Tapi di mana tangan kita berani memulai.

Kalau migrainmu tak kunjung reda, mungkin bukan obat yang kamu butuhkan. Tapi gosokan yang tepat. Bukan sembarang sentuhan, tapi yang tahu titiknya. Dan paling penting, yang tahu kamu luar dalam.

Karena sejatinya, tubuh kita cuma minta satu hal: dipahami.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *