Di sebuah perumahan yang katanya elit tapi saluran airnya suka bocor, tinggallah seorang pria bernama Bang Roy. Hobinya mendesain rumah, tapi modalnya pas-pasan. Dalam hidup, prinsipnya satu: “Selama bisa ditempel, kenapa harus dicat?” Maka sejak awal pindah, rumahnya penuh wallpaper motif bunga-bunga yang entah mengapa selalu bikin tamu merasa berada di kebun teh.

Suatu hari, Bang Roy melihat dinding ruang tamunya mulai berwarna kecokelatan. Lembab. Basah. Seperti dinding habis lari marathon. Tapi alih-alih panik, dia malah nyeletuk:
“Wah, ini sinyal alam. Saatnya ganti wallpaper!”

Ini namanya “Positive Thinking Level Dewa” — bahkan tembok basah pun dianggap tanda keberuntungan.

Istrinya, Bu Rani, udah mulai curiga.
“Bang, itu tembok lembab, bukan kode dari semesta,” katanya.
Tapi Roy bersikeras. “Tenang, yang penting kita beli wallpaper yang tebel. Anti air katanya.”

Nah, ini namanya “Overconfidence” — percaya pada iklan lebih dari akal sehat.

Wallpaper pun dipasang. Rapi. Wangi lemnya sampai ke ruang dapur. Bang Roy tersenyum puas, sambil berkata,
“Lihat, rumah kita kayak hotel bintang lima!”

Tiga hari kemudian…

Wallpaper-nya mulai ngelupas kayak kulit sunburn habis liburan di pantai.
Lemnya lepas. Bagian bawahnya bergelembung, persis kayak balon air.

“Bang! Ini temboknya makin parah!” teriak Bu Rani.
Tapi Roy dengan santainya bilang:
“Tenang, itu efek 3D. Lebih artistik. Tamu kita pasti kagum.”

Ini namanya “Delusi Berkedok Seni” – ketika kegagalan dianggap inovasi.

Tapi, malamnya datang tamu: Pak RT.

Begitu lihat dinding ruang tamu yang gelembungan, Pak RT bengong.
“Ini rumah apa eksperimen ilmiah?”
Roy jawab, “Ini tren baru, Pak. Wallpaper bertekstur alami.”

Pak RT ngangguk, lalu bisik ke istrinya:
“Catet. Jangan ajak anak-anak main ke sini lagi.”

Lalu datanglah fase evaluasi.

Bang Roy mulai sadar, wallpaper dan tembok lembab tuh kayak mantan dan balikan: kelihatan indah diawal, tapi ujung-ujungnya berantakan. Lem nggak bisa nempel karena air dari tembok terus merembes. Jamur muncul, lem jadi lembek, wallpaper copot satu-satu kayak rambut rontok.

Akhirnya dia browsing, nonton video tutorial, bahkan sempat curhat di grup WA kompleks. Baru deh, Bang Roy paham:
Tembok lembab itu musuh bebuyutan wallpaper.
Sebelum tempel-tempelan dimulai, harus diberesin dulu akar masalahnya.

Ini namanya “Lesson Learned” – belajar bukan dari guru, tapi dari dinding sendiri.

Lalu, Bang Roy panggil tukang. Bukan tukang wallpaper, tapi tukang beneran. Tembok dikupas, dioles waterproofing, diplester ulang, dikeringin seminggu penuh. Setelah kering sempurna dan diuji dengan disiram air tiga kali sehari kayak tanaman bonsai, barulah wallpaper dipasang lagi.

Dan hasilnya?

Kali ini bener-bener rapi. Nggak ada gelembung. Nggak ada ngelupas. Bahkan Pak RT waktu datang lagi cuma bisa bilang,
“Wah, udah nggak eksperimen ilmiah ya sekarang. Udah bisa jadi tempat arisan ibu-ibu.”

Ini namanya “Redemption Arc” – saat kegagalan jadi guru, dan tukang jadi pahlawan.

Jadi, jawabannya jelas:

Bisakah tembok lembab dipasang wallpaper?
Secara teknis? Bisa.
Secara hasil? Siap-siap kecewa.

Karena sekuat apapun lem wallpaper, dia tetap kalah sama air yang merembes dari balik tembok. Kalau kita nekat pasang di dinding yang lembab, siap-siap dapet kejutan: gelembung, jamur, bahkan aroma lumut yang nggak ditawarkan oleh parfum manapun.

Intinya?

Sebelum pasang-pasang, cek dulu dindingmu. Pastikan dia kering, sehat, dan siap berkomitmen jangka panjang. Jangan kayak Roy yang sok tahu di awal, tapi akhirnya kapok sendiri.

Karena dalam hidup ini, kadang kita terlalu fokus pada penampilan luar (wallpaper), sampai lupa memperbaiki isi dalamnya (temboknya). Padahal, yang bikin tahan lama itu bukan bungkusnya, tapi fondasinya.

Dan seperti kata Bu Rani saat melihat hasil akhirnya:
“Alhamdulillah, akhirnya kita punya rumah yang beneran bisa ditempel, bukan cuma dipel.”

Ini namanya “Akhir Bahagia Versi Rumah Tangga.”

Jadi… masih mau pasang wallpaper di tembok yang lembab? Pikir lagi. Atau minimal, siapin lem dua galon dan sabar seluas samudera.

Kalau kamu pernah ngalamin kisah kayak Bang Roy, semoga artikel ini bisa jadi pengingat: jangan asal tempel, periksa dulu isi dalamnya.
Karena hidup, kadang kayak tembok…
Kalau udah lembab, butuh perbaikan. Bukan sekadar ditutupi.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *