Di sebuah rumah yang lebih lembab dari hubungan tanpa kejelasan, tinggallah seorang bapak dua anak bernama Pak Darto. Rumahnya kecil, manis, tapi sayangnya penuh dengan udara yang bisa bikin tembok berkeringat dan baju bau apek walau udah dijemur dua hari.
Setiap pagi, Pak Darto selalu mengeluh, “Ini rumah apa hutan Amazon sih? Kelembaban tinggi terus. Ntar kalau tiba-tiba ada lumut tumbuh di jidat saya, jangan kaget ya!”
Dan seperti biasa, Bu Darto hanya nyengir sambil ngelap kaca jendela yang penuh embun. Anak-anaknya? Udah terbiasa hidup dalam suasana tropis. Bahkan si bungsu, Dika, pernah nyeletuk, “Kalau kita ternak jamur di kamar, kayaknya bisa cuan, Yah.”
Ini namanya “Turning Suffering Into Business Plan” – Ubah derita jadi peluang usaha.
Lelah dengan kehidupan lembab, Pak Darto pun mengambil langkah nekat. Dia nanya ke grup WhatsApp warga:
“Teman-teman, ada yang tahu cara ngilangin kelembaban ruangan selain nyalahin cuaca dan buka jendela yang gak pernah ada angin?”
Seketika, grup ramai. Ada yang nyaranin taruh arang di pojokan, ada yang bilang pakai kapur barus, bahkan ada yang menyarankan pasang AC meski meteran listrik mereka udah ngos-ngosan.
Tapi satu nama muncul dari kegelapan—Bang Soni.
Orangnya tenang, jaket kulit gak lepas meski suhu ruangan 29 derajat, dan selalu punya solusi instan.
Dia kirim pesan singkat:
“Pakai dehumidifier. Beres urusan.”
Pak Darto langsung bales, “Berapa harga dehumidifier, Bang?”

Dan inilah awal dari perjalanan penuh drama dan harga-harga yang bikin hati galau.
Bang Soni bilang, “Tergantung kapasitasnya, Bro. Yang kecil buat kamar bisa Rp500 ribuan, yang medium buat satu ruangan bisa Rp1-2 juta. Nah, yang gede, yang bisa nyedot kelembaban sekomplek, itu bisa 5 juta ke atas.”
Pak Darto mengangguk, walau lawan bicaranya gak bisa lihat.
Ini namanya “Nodding in Financial Pain” – Mengangguk meski dompet menjerit.
Besoknya, Pak Darto niat survey ke toko elektronik. Langsung disambut mas-mas SPG dengan semangat membara.
“Selamat datang, Pak! Cari apa?”
“Dehumidifier,” jawab Pak Darto mantap.
Mas SPG langsung jalan dengan langkah cepat menuju rak elektronik. Di sanalah mereka berdiri: para dehumidifier, berjajar rapi seperti anak-anak kos antri nasi gratis.
“Yang ini buat kamar 20 m², harganya Rp899.000. Yang ini buat ruangan agak besar, Rp1.450.000. Nah, kalau Bapak mau yang smart dan ada indikator digitalnya, ini Rp3.250.000,” jelas sang mas SPG penuh semangat jualan.
Pak Darto cuma senyum. Dalam hatinya, dia menjerit:
“Kenapa ya, makin canggih barangnya, makin bikin rekening jadi kosong?”
Tapi di titik itu juga, Pak Darto sadar. Dia bisa milih antara terus hidup dalam kabut atau investasi buat kualitas hidup. Akhirnya dia beli satu yang medium. Pulang dengan perasaan campur aduk—antara senang, lega, dan… kaget waktu liat saldo.
Ini namanya “The Price of Dry Air” – Harga buat menghirup udara yang gak lembab.
Hari pertama pasang dehumidifier, hasilnya mengejutkan. Dalam 5 jam, tangki airnya udah hampir penuh. “Lah, ini rumah gue atau aquarium?” celetuknya sambil garuk-garuk kepala. Anak-anak pun takjub.
“Yah, ternyata selama ini kita tinggal di awan, ya?”
Malamnya, suasana kamar jadi beda. Lebih adem, gak ada embun, dan dinding gak lagi berkeringat kayak habis jogging.
Bu Darto pun nyengir, “Akhirnya bisa tidur tanpa takut nyium bau kaus kaki basah.”
Dan di sanalah titik balik kehidupan keluarga kecil itu. Rumah jadi lebih nyaman, cucian lebih cepat kering, dan mood pun perlahan membaik. Bahkan Dika gak pernah ngeluh pilek lagi tiap pagi.
Ini namanya “Return on Investment” – Hasil dari keputusan yang awalnya berat tapi ternyata bikin hidup lebih baik.
Dari pengalaman Pak Darto, kita bisa belajar banyak. Bahwa dehumidifier itu bukan barang mewah. Tapi solusi buat hidup yang lebih sehat dan nyaman, terutama kalau tinggal di daerah tropis, pinggir laut, atau rumah yang ventilasinya seadanya.
Mau harga Rp500 ribu atau Rp5 juta, yang penting sesuai kebutuhan. Jangan beli karena fitur banyak, tapi gak dipakai. Jangan juga asal murah tapi gak mampu narik kelembaban seisi ruangan.
Kenali dulu kebutuhanmu, baru tentukan budgetmu.
Karena dalam urusan kelembaban, seperti dalam hidup—kadang yang kamu perlukan bukan yang paling mahal, tapi yang paling pas.
Jadi, berapa harga dehumidifier?
Jawabannya: mulai dari Rp500 ribuan sampai belasan juta, tergantung kebutuhan dan luas ruangan. Tapi pelajaran terbesarnya bukan cuma soal angka di price tag, tapi soal bagaimana kita mau ambil keputusan demi kenyamanan dan kesehatan.
Karena dalam hidup, kadang kita perlu alat kecil untuk menyerap hal-hal yang bikin pengap. Dan kadang, kita sendiri yang harus belajar jadi “dehumidifier”—menyerap emosi negatif dan tetap adem, meski keadaan lagi lembab.
Ini namanya: jadi manusia yang berfungsi, bukan cuma berisik.