Di sebuah kantor penuh deadline dan kopi sachet, duduklah seorang karyawan bernama Mira. Baru jam sembilan pagi, wajahnya sudah seperti printer kehabisan tinta—pucat, lemas, dan matanya merem sebelah.

“Kenapa lo, Mir?” tanya Rina, rekan kerjanya, sambil nyeruput kopi tiga sendok gula.

Mira menoleh pelan, suara lirihnya nyaris kayak bisikan horor di film thriller lokal, “Migrain lagi, Rin… sebelah kanan. Kayak dihantam palu Thor tapi versi hemat listrik.”

Ini bukan kali pertama Mira terserang migrain. Dalam sebulan, bisa 6 sampai 8 kali. Tapi karena udah langganan, dia anggap ini kayak tamu bulanan yang nggak tahu diri—datang tanpa undangan, pergi semaunya.

Pertanyaannya sekarang: “Sebenernya, bahayakah kalau sering migrain?”

Mari kita mulai cerita ini dari definisi. Migrain itu bukan sekadar sakit kepala biasa. Bukan pula hasil dari kurang ngopi, atau karena ditolak gebetan. Migrain adalah salah satu jenis gangguan neurologis yang bisa bikin aktivitas harian jungkir balik, dari yang tadinya mau meeting malah jadi meeting dengan kasur.

Migrain punya karakter unik. Biasanya nyerangnya cuma satu sisi kepala, disertai mual, muntah, bahkan gangguan penglihatan. Pokoknya, kalau migrain udah nyerang, rasanya pengen jadi tanaman aja—diam dan tak bergerak, tanpa ekspektasi.

Tapi kalau kejadian ini sering banget terjadi, jangan cuma ngeluh ke temen atau cerita di status WA. Yuk, kita kupas bahayanya satu-satu.

  1. Bisa Jadi Alarm Tubuh

Migrain yang muncul terus-menerus itu kayak alarm di pagi hari—ganggu, nyebelin, tapi penting. Itu artinya ada yang salah di tubuh kamu. Bisa karena stres berlebihan, pola tidur amburadul, dehidrasi, bahkan sinyal dari penyakit tertentu kayak tekanan darah tinggi, gangguan hormon, sampai kelainan pembuluh darah di otak.

Coba bayangin: tubuh kamu udah teriak lewat migrain berkali-kali, tapi kamu masih cuek. Itu namanya bukan sabar, tapi nekat.

  1. Risiko Stroke? Bisa Jadi

Eits, jangan langsung panik. Tapi ya, ada studi yang bilang bahwa orang yang sering migrain—terutama yang disertai aura atau gangguan penglihatan sebelum serangan—punya risiko sedikit lebih tinggi terkena stroke.

Bayangin migrain ini kayak trailer film horor. Kalau terlalu sering muncul, jangan-jangan yang datang berikutnya bukan cuma sakit kepala, tapi hal yang lebih ngeri.

Makanya, jangan cuek kalau migrain sering kambuh. Tubuh bukan mesin. Kalau udah mulai rewel, artinya dia butuh perhatian.

  1. Kualitas Hidup Bisa Anjlok

Mira cerita, tiap kali migrain datang, bukan cuma kepala yang nyut-nyutan. Tapi moodnya jadi kayak roller coaster—naik turun nggak jelas. Bahkan kadang dia jadi uring-uringan cuma gara-gara denger suara nyamuk.

Kalau dalam sebulan kamu lebih sering pingsan di kasur daripada ketawa di ruang tamu, jelas ini ganggu kualitas hidup. Migrain bisa bikin hubungan renggang, kerjaan kacau, dan bikin kamu merasa sendirian dalam gelap—literally, karena cahaya bikin sakit makin parah.

  1. Obat Bukan Solusi Jangka Panjang

Ini yang sering dilupain orang. Banyak yang anggap, “Ah, tinggal minum parasetamol atau ibuprofen, beres.” Tapi kalau tiap minggu kamu ketemu obat kayak ketemu mantan di acara nikahan—berarti ada yang salah.

Ketergantungan obat bisa bikin efek samping lain. Belum lagi kalau kamu minum obat pereda nyeri terus-menerus, lambung bisa protes. Dan akhirnya, bukannya sembuh, malah nambah penyakit baru.

  1. Migrain Kronis: Mimpi Buruk yang Nyata

Kalau dalam sebulan kamu mengalami migrain lebih dari 15 hari, itu udah masuk kategori migrain kronis. Bukan cuma butuh obat, tapi juga evaluasi gaya hidup, stres, pola makan, dan mungkin—udah saatnya ke dokter spesialis saraf.

Serius, bukan semua hal bisa diselesaikan dengan tidur dan air putih.

Jadi, Bahaya Nggak?

Jawabannya: iya, kalau dibiarkan terus tanpa dicari akar masalahnya.

Migrain bukan cuma urusan sakit kepala. Ia bisa jadi pertanda dari masalah yang lebih besar, bisa memengaruhi mental, fisik, bahkan kehidupan sosial. Tapi tetap, bukan berarti migrain itu monster yang nggak bisa ditaklukkan.

Yang dibutuhkan cuma: kesadaran bahwa tubuh itu bukan musuh, tapi partner.

Kalau dia ngasih sinyal, dengarkan. Jangan abaikan. Jangan nunggu migrain datang tiap minggu baru nyesel. Karena kalau tubuhmu sampai “berteriak,” bisa jadi kamu udah terlalu lama menutup telinga.

Mira sekarang?

Dia akhirnya ke dokter, mulai terapi, rajin minum air putih, tidur cukup, dan yang paling penting—belajar bilang “tidak” ke pekerjaan yang nggak manusiawi. Karena ternyata, migrain itu bukan kutukan. Tapi kode keras dari tubuh yang pengen dimengerti.

Dan kita? Mungkin perlu belajar dari Mira, sebelum kepala kita juga ngajak perang dengan cara yang nggak elegan.

Kalau kamu sendiri, kapan terakhir kali kamu benar-benar mendengarkan tubuhmu?

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *