Di sebuah kamar kontrakan yang cuma cukup buat naruh kasur, kipas angin, dan galon isi ulang, ada seseorang yang tengah berjuang. Namanya Dani, dan malam itu, dia sedang perang. Bukan lawan maling, bukan lawan deadline, tapi lawan migrain.
Kepalanya cenat-cenut. Serasa ada pasukan marching band yang lagi gladi bersih di dalam otaknya. Setiap detik berlalu seperti suara gendang ditabuh pakai palu godam. Dani mengeluh, “Kenapa sih migrain suka datang pas kita paling butuh tidur?”
Ini namanya “Timing is a Jerk” – Migrain selalu datang di saat yang paling nggak sopan!
Dani mencoba rebahan. Lampu sudah dimatikan, HP sudah dilempar jauh-jauh biar gak tergoda scroll TikTok. Tapi migrainnya nggak peka. Tetap duduk manis di kepala, ngetok-ngetok pelipis kayak minta utang.
Akhirnya Dani bangkit. Dia cari balsem, diolesin ke pelipis. Harapannya sih, menthol itu bisa ngasih sensasi dingin dan bikin migrainnya minggat. Tapi yang terjadi malah:
“Mata gua perih, cuy!”
Ini namanya “Effort Backfired” – Niatnya bantu, malah nambah masalah!
Setelah cuci muka sambil mengumpat, Dani pun ganti strategi. Dia tarik napas dalam-dalam, buka YouTube, cari “white noise for sleep and pain relief”. Suara hujan, suara ombak, suara kipas angin — semua dicobain.
Sampai akhirnya dia nemu suara yang pas: rekaman bunyi kipas rusak dari tahun 2004. Aneh, tapi entah kenapa bikin damai. Dani berbaring lagi.

Ini namanya “Strange Comfort” – Kadang yang paling absurd justru yang paling menenangkan.
Tapi baru lima menit rebahan, suara kipas asli di kamarnya mulai berulah. Bluk-bluk-krieet. Diperparah sama nyamuk yang mendekat kayak zombie kelaparan. Dani nyerah lagi.
Dia mikir, “Kenapa ya nggak ada tombol shutdown di kepala ini?”
Ini namanya “Overthinking Syndrome” – Ketika otak malah makin aktif saat butuh istirahat.
Dalam keputusasaan, Dani ingat satu tips dari temannya: mandi air hangat sebelum tidur. Dengan sisa tenaga kayak baterai 1%, dia nyeret diri ke kamar mandi. Air hangat menyentuh kulit, dan anehnya, rasa sakit di kepala mulai reda sedikit.
Ini namanya “Hydro Healing” – Kadang yang kita butuhin cuma air dan sedikit keberanian buat keluar dari selimut.
Selesai mandi, Dani langsung ganti baju, balik ke kasur, dan coba trik pernapasan. Inhale lima detik, tahan lima detik, buang delapan detik. Diulang-ulang sampai rasanya kayak lagi meditasi bareng guru yoga India.
“Tenang, dani… kamu cuma manusia, bukan modem Indihome yang harus nyala terus…”
Ini namanya “Verbal Self-Therapy” – Kadang perlu ngomong ke diri sendiri buat ngingetin kalau kita boleh istirahat.
Jam menunjukkan pukul 02.00. Dani belum sepenuhnya tertidur, tapi rasa migrainnya perlahan mundur. Mungkin karena badan udah lebih rileks. Mungkin karena otaknya mulai kasihan juga sama pemiliknya.
Dan tepat saat Dani hampir tidur, tetangganya nyalain karaoke.
“AKU LE-LAHH… LE-LAHH…”
Dani tutup muka pakai bantal, tapi bukan menyerah. Justru sambil ketawa pahit.
Ini namanya “Life Test Mode” – Bahkan saat kamu hampir menang, hidup tetap suka nyubit sedikit.
Akhirnya Dani pasrah. Bukan berarti kalah, tapi menerima. Dia biarkan suara karaoke jadi latar, tarik selimut, dan dengan kepala yang tinggal sisa denyut kecil, dia terlelap.
Jadi, gimana sih caranya tidur saat migrain?
Bukan soal satu jurus pamungkas, tapi gabungan dari hal-hal kecil:
- Redupkan cahaya. Lampu terang itu kayak sinar interogasi buat otak yang lagi nyeri.
- Hindari layar. Cahaya biru dari HP bisa makin memperparah sakit kepala.
- Kompres dingin di pelipis atau leher belakang.
- Mandi air hangat sebelum tidur.
- Dengarkan suara white noise atau musik relaksasi.
- Tarik napas dalam-dalam, lepas perlahan.
- Dan yang paling penting: jangan lawan rasa sakit. Ajak dia kompromi.
Migrain itu kayak tamu tak diundang yang doyan duduk di sofa. Tapi kalau kamu cuekin sambil ngeluarin camilan (baca: perawatan dan relaksasi), dia lama-lama bosan sendiri dan cabut.
Ini namanya “Co-Exist with the Pain” – Karena kadang, tidur bukan tentang melawan rasa sakit, tapi berdamai dengannya.
Dan Dani? Bangun siang dengan kepala yang ringan. Masih ada sisa denyut, tapi dia tersenyum.
“Migrain lo kuat, bro. Tapi gue lebih sabar.”
Itu namanya “Victory in Patience” – Kemenangan kecil yang dicapai lewat kesabaran panjang.
Selamat tidur… semoga tanpa marching band di kepala.