Di sebuah kampung bernama Kampung Becek, ada satu rumah yang jadi legenda. Bukan karena arwah penasaran atau sumur tua yang angker, tapi karena… dinding rumahnya selalu lembap, dari zaman Dinasti Majapahit sampe zaman tagihan listrik bisa dibayar lewat QR code.

Setiap kali musim hujan, si dinding rumah langsung berevolusi jadi tembok-tembok Hogwarts—penuh jamur, bercak misterius, dan aroma khas yang bisa bikin siapa pun kehilangan selera makan.

Suatu hari, Pak Giman, si pemilik rumah yang juga pensiunan guru sejarah, duduk melamun sambil nonton bercak dinding yang makin lama makin mirip peta dunia.
“Ini namanya dinding atau bahan percobaan biologi, ya?” gerutunya.

Anaknya, si Darto yang baru lulus kuliah jurusan teknik lingkungan, dateng dengan gaya anak muda visioner—pakai tote bag, sendal gunung, dan percaya diri sebesar gunung Semeru.
“Pak, ini saatnya kita berubah! Dinding gak boleh lembap terus! Ini tahun 2025, bukan zaman penjajahan!”

Pak Giman bengong. “Lha emang kamu tahu caranya?”
Darto senyum sok bijak. “Tahu dong, Pak. Ini namanya… Moisture Management Revolution!”

Dan dimulailah operasi penyelamatan dinding yang udah trauma kelembapan selama puluhan tahun.

Langkah Pertama: Ventilasi Adalah Kunci
Darto buka semua jendela, dorong pintu, bahkan copot genteng (yang ini sebenarnya nggak sengaja).
“Pak, udara harus jalan, sirkulasi itu segalanya. Biar dinding bisa ‘napas’,” katanya sambil buka YouTube tutorial.
Pak Giman cuma ngangguk-ngangguk, meskipun dalam hati mikir, “Ini anak niat bantu rumah apa niat bikin rumah terbang kayak di film Up?”

Ini namanya “Let It Flow” – Udara segar bisa jadi solusi murah tapi efektif.

Langkah Kedua: Garam Bukan Cuma Buat Sayur Sop
Darto masukin beberapa mangkuk garam ke pojokan rumah.
“Garam itu hygroscopic, Pak. Dia narik kelembapan dari udara. Udah kayak mantan yang narik perhatian kita waktu udah bahagia.”
Pak Giman kaget. “Ini rumah apa dapur besar?”

Tapi hey, tiga hari kemudian… pojokan rumah yang biasanya basah mulai kering. Garam berubah jadi bubur asin, tapi dinding mulai tersenyum.

Ini namanya “Absorbing Energy” – Pakai yang ada, hasilkan yang luar biasa.

Langkah Ketiga: Kapur Ajaib, Tapi Bukan Buat Nulis di Papan Tulis
Kali ini Darto nempelin beberapa kantong kain berisi kapur di sekitar dinding.
“Pak, kapur juga penyerap kelembapan. Biasa dipakai buat dalam lemari. Tapi kita upgrade: sekarang buat tembok!”
Pak Giman cuma bisa ngelus dada sambil mikir, “Ini anak belajar teknik lingkungan atau jurusan sulap?”

Ini namanya “Out of The Closet Thinking” – Ide dari tempat sempit bisa menyelamatkan ruang besar.

Langkah Keempat: Jangan Lupa Tumbuhan Penghisap Kelembapan
Darto naro beberapa pot tanaman seperti lidah mertua dan peace lily di dekat dinding.
“Biar rumah adem dan dinding nggak merengek kayak anak kecil kena flu,” katanya sambil nyiram tanaman penuh cinta.

Pak Giman mulai kagum. “Ternyata si Darto bukan cuma bisa ngabisin mie instan tengah malam, tapi juga ngerti ekosistem.”

Ini namanya “Green Defense” – Alam punya solusi, asal kita mau pakai.

Langkah Kelima: Cat Anti-Lembap, Tapi Jangan Cat Hati
Darto ngajak bapaknya ngecat dinding pakai cat khusus anti-lembap.
“Pak, cat ini kayak perisai. Air nggak bisa nembus! Kayak hati anak teknik yang udah kebal ditolak dosen pembimbing.”
Pak Giman pun ikut nimbrung. “Kalau gitu sekalian cat ulang hidup saya, biar semangat baru!”

Ini namanya “Shield Up” – Kadang perlindungan itu dimulai dari lapisan luar.

Seminggu berlalu. Dinding rumah berubah total. Nggak ada lagi jamur, nggak ada lagi aroma apek kayak lemari nenek-nenek yang lupa ditutup.
Pak Giman senyum bahagia, duduk sambil baca buku sejarah tanpa harus gatal-gatal.
“Darto,” katanya, “Bapak bangga. Kamu bukan cuma menyelamatkan rumah, tapi juga martabat dinding yang udah lama jadi korban.”
Darto pun tertawa, “Semua demi generasi dinding yang lebih baik, Pak!”

Ini namanya “From Damp to Champ” – Dari yang basah jadi gagah.

Dan sejak itu, dinding rumah Pak Giman jadi inspirasi warga sekampung. Bahkan ada yang nyebut, “Kalau dinding Pak Giman bisa sembuh, berarti mantan juga bisa dilupakan.”

Jadi, bagaimana cara menghentikan kelembapan di dinding?
Bukan dengan marah-marah. Bukan dengan nyalahin musim hujan. Tapi dengan tindakan sederhana, alami, dan niat tulus yang dibumbui cinta—baik itu cinta pada rumah, atau cinta pada ilmu pengetahuan.

Karena kelembapan itu bukan kutukan. Tapi panggilan… buat kita jadi lebih peduli.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *