Di sebuah rumah kecil yang cuma muat satu kasur, satu galon, dan dua masalah hidup, hiduplah seorang pria bernama Bagas. Umur 32 tahun, belum nikah, dan sudah tiga kali batal daftar gym. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya, Bagas sering migrain. Bukan pusing biasa yang cukup dihadapi dengan ngopi atau scroll TikTok. Ini migrain yang bikin mata kabur, kepala cenat-cenut, dan hati merasa dikhianati.
Suatu malam, migrainnya datang seperti mantan yang tiba-tiba ngechat: tanpa aba-aba, dan langsung bikin kacau.
Bagas pun tergeletak di kasur seperti ikan pindang kehabisan air. Di antara rasa sakit yang bikin ingin reinkarnasi jadi awan, ia mulai mikir:
“Tidur aja kali ya? Siapa tahu bangun-bangun, migrainnya hilang kayak utang yang nggak ditagih.”
Ini namanya Hope Therapy – berharap solusi datang lewat bantal.
Tapi di saat yang sama, suara di kepalanya — yang entah itu suara hati atau suara notifikasi Shopee — berkata:
“Jangan tidur dulu, Gas! Migrain itu kadang harus dilawan dulu, jangan malah kabur ke mimpi!”
Ini namanya Internal Debate – perang batin lebih ribet dari skripsi bab 3.
Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, Bagas pun buka HP, Googling dengan satu mata yang masih bisa dibuka:
“Apakah migrain boleh tidur?”
Dan hasil pencarian malah bikin kepala tambah berat. Ada yang bilang boleh, ada yang bilang jangan, ada juga yang menyarankan minum air kelapa terus meditasi di bawah bulan purnama. Informasi di internet kadang kayak mantan: banyak janji, tapi nggak semua bisa dipercaya.
Tapi di tengah kekacauan itu, muncullah artikel dari seorang ahli neurologi yang bilang:
“Tidur justru bisa membantu meredakan migrain pada sebagian orang. Tapi… jangan sembarangan juga.”
Ini namanya Conditional Healing – bisa sembuh, asal ngerti syarat dan ketentuan berlaku.
Dengan semangat yang masih setipis saldo e-wallet tanggal tua, Bagas mulai menata posisi tidur. Gelap? Sudah. Sunyi? Sudah. HP? Dilempar jauh-jauh, takut malah kebaca chat mantan yang tiba-tiba nanya: “Masih suka ngopi nggak?”

Ia tutup mata, ambil napas dalam, dan… cling! — migrainnya nggak langsung hilang, tapi rasa sakitnya mulai berkurang pelan-pelan. Seperti drama Korea yang akhirnya masuk ke episode bahagia.
Ternyata, tidur memang bisa jadi solusi. Tapi dengan syarat: tempatnya nyaman, suasananya tenang, dan nggak ada grup WA yang bunyinya tiap 3 menit.
Ini namanya Healing Environment – suasana yang tepat untuk nyembuhin bukan cuma badan, tapi juga jiwa.
Keesokan harinya, Bagas bangun dengan kepala yang lebih ringan dan hati yang lumayan lega. Migrain belum sepenuhnya pergi, tapi sudah cukup untuk bikin dia bisa berdiri tanpa nyender ke dinding.
Dia senyum kecil, lalu berkata dalam hati:
“Ternyata tidur bukan kabur. Tidur itu strategi.”
Ini namanya Strategic Resting – tidur bukan karena lemah, tapi karena cerdas.
Tapi pelajaran hari itu belum selesai. Karena saat sarapan, ibunya nyeletuk:
“Kamu tuh ya, tiap pusing dikit tidur mulu. Nanti dikira males sama orang!”
Bagas pun menatap ibunya dengan tatapan penuh cinta dan sedikit bingung, lalu berkata:
“Bu, aku bukan tidur karena males. Aku tidur karena otakku butuh reboot.”
Ini namanya Mental Defense – membela diri dengan logika, walaupun pakai kata “reboot” yang bikin ibu tambah bingung.
Jadi, apakah migrain boleh tidur?
Jawabannya: boleh. Bahkan dianjurkan. Tapi ingat, bukan tidur sembarangan. Bukan tidur sambil nonton film horor, atau tidur di bawah lampu neon yang kedap-kedip kayak disko tahun 90-an.
Tidur untuk migrain itu harus tenang, teratur, dan tidak dijadikan alasan untuk kabur dari tanggung jawab hidup. Kalau memang butuh tidur, ya tidur. Tapi jangan lupa bangun dan lanjut hidup.
Karena hidup ini bukan cuma soal migrain. Tapi juga tentang bagaimana kita menyikapi rasa sakit, tanpa kehilangan arah dan akal.
Ini namanya Self Awareness – kenal diri, kenal batas, dan tahu kapan harus tidur.
Jadi, kalau kamu sedang migrain dan merasa dunia ini terlalu terang, terlalu bising, terlalu… manusiawi — mungkin, tidur adalah keputusan paling waras yang bisa kamu ambil.
Karena kadang, penyembuhan bukan datang dari obat… tapi dari kasur, bantal, dan keikhlasan untuk rehat sebentar.
Dan ketika kamu bangun, siapa tahu, bukan cuma migrain yang hilang… tapi juga beban pikiran yang selama ini ngumpet di balik kerutan dahi.
Selamat tidur. Semoga mimpi kamu lebih indah dari notifikasi transfer masuk.