Di sebuah rumah kontrakan pinggiran kota, tinggalah seorang cowok bernama Deno. Hidupnya sederhana. Mimpinya juga nggak muluk—pengen tidur nyenyak tanpa migrain. Tapi ya gitu, hidup suka becanda.
Pagi itu, Deno baru aja bangun tidur dan langsung ngerasa kayak ada marching band manggung di dalam kepalanya. Palu godam beraksi, simbal berdentang, dan… boom! Migrain lagi.
Alih-alih rebahan santai, Deno malah langsung ngopi. Kopi hitam, dua sendok gula, segelas penuh harapan.
“Biar melek,” katanya.
Ini namanya: “First Mistake of the Day” – Minum kopi waktu migrain tuh ibarat nambahin bensin ke api unggun.
Beberapa orang mungkin ngerasa kafein bisa bantu. Tapi kalau kamu sensitif sama kafein? Wah, bukannya sembuh, malah makin muter itu marching band.
Belum puas bikin kesalahan, Deno buka jendela lebar-lebar. Sinar matahari nyorot langsung ke muka. Dia meringis.
“Aduh silau, tapi katanya bagus kena sinar pagi.”
Ini namanya: “Wrong Place, Wrong Time” – Cahaya terang itu musuh utama penderita migrain.
Migrain itu bukan cuma soal sakit kepala, tapi juga peka banget sama cahaya. Jadi kalau kamu kayak Deno yang maksain buka jendela, ya siap-siap aja makin puyeng.
Setelah merasa gagal dengan kopi dan cahaya, Deno ngeluarin ide cemerlang: nyalain musik keras-keras biar gak fokus ke sakitnya.
“Musik keras ngalahin suara palu, bro!” katanya.
Ini namanya: “Bunuh Diri Pelan-Pelan” – Suara keras itu pemicu migrain, bukan penawarnya.
Bener aja, lima menit kemudian, dia udah ke lantai, meringkuk, peluk guling.
Lalu datanglah tetangganya, Mas Robi, alumni kampus kehidupan, spesialis pengobatan ala-ala.
“Kamu migrain? Gampang. Pijat aja, saya jago!” katanya sambil ngeramas kepala Deno kayak lagi ulen adonan.

Deno jerit.
“BRO! PELANAN DIKIT, INI KEPALA, BUKAN BAKPAO!”
Ini namanya: “Good Intentions Gone Wrong” – Pijat kepala waktu migrain bisa bikin makin parah, apalagi kalau nggak tahu titik tekan yang bener.
Migrain itu kayak tamu sensitif. Sentuh dikit salah tempat, bisa ngamuk. Kadang yang dibutuhin itu bukan tekanan, tapi ketenangan.
Mas Robi nggak menyerah.
“Mungkin kamu kurang makan pedas. Cabai tuh bisa melegakan, bikin aliran darah lancar!”
Deno melongo.
Bro, kamu ngajak perang.
Ini namanya: “Spicy Suicide” – Makanan pedas bisa memperburuk migrain karena memicu pelebaran pembuluh darah.
Migrain bukan waktunya makan seblak level 10. Itu mah nanti, kalau udah sembuh dan pengen ngetes nyali.
Setelah eksperimen gagal bertubi-tubi, Deno akhirnya rebahan, nutup gorden, dan… tidur.
Satu jam kemudian, dia bangun dan migrainnya mulai reda.
“Loh, cuma butuh tidur doang?” katanya bengong.
Iya, bro. Kadang kita terlalu sibuk cari solusi rumit, padahal tubuh kita cuma minta: istirahat.
Ini namanya: “Keep It Simple” – Solusi terbaik kadang yang paling sederhana.
Dari kisah heroik penuh penderitaan ini, kita belajar banyak hal yang gak boleh dilakukan waktu migrain menyerang:
Jangan minum kopi sembarangan.
Kalau kamu sensitif, kafein bisa memperparah.
Hindari cahaya terang.
Gelapin ruangan. Bukan buat drama, tapi buat selamatin kepala.
Jangan dengarkan suara keras.
Musik keras, suara TV, atau teriakan sinetron bisa jadi pemicu neraka kecil di kepala.
Hindari dipijat sembarangan.
Apalagi sama tetangga yang baru belajar pijat dari YouTube.
Jangan makan makanan pedas.
Perutmu mungkin kuat, tapi kepalamu belum tentu.
Dan yang paling penting…
Jangan panik.
Kadang panik justru bikin tekanan darah naik, bikin sakit makin menjadi.
Ini namanya: “Mind Over Migraine” – Tenang itu separuh obat.
Deno akhirnya tahu, kadang cara terbaik melawan migrain itu bukan dengan ngelawan, tapi dengan mundur sejenak, kasih waktu buat tubuh pulih, dan percaya kalau badan kita tahu caranya menyembuhkan.
Jadi, buat kamu yang lagi migrain, jangan sok jago. Dengerin badanmu. Matikan lampu, rebahan, tutup mata, dan… biarkan dunia berisik di luar sana, sementara kamu menikmati diamnya kepalamu.
Karena kadang, kemenangan bukan datang dari perlawanan. Tapi dari diam yang penuh pengertian.
Dan itu namanya: “Silent Victory” – Saat kepala akhirnya tenang tanpa harus perang.