Di sebuah rumah kecil berwarna hijau alpukat pucat, hiduplah sepasang suami istri bernama Pak Tono dan Bu Reni. Rumah mereka mungil tapi penuh cinta—dan sayangnya, juga penuh… kelembaban.
Dinding ruang tamunya suka berubah warna. Dari putih jadi krem, lalu krem ke cokelat muda, sampai akhirnya tumbuh bercak-bercak hitam yang misterius. Anak-anak mereka nyebutnya: peta jamur dunia.
Bu Reni udah lelah. Tiap minggu bersihin pakai lap, cairan pembersih, bahkan pernah nyobain semprot pewangi ruangan biar setidaknya kalau dilihat kotor, paling nggak wangi.
Ini namanya “Visual Deception” – kalau nggak bisa dibenerin, ya dibikin wangi aja.
Sampai suatu malam, Pak Tono lagi duduk nonton sinetron, tiba-tiba Bu Reni berdiri sambil bawa sapu.
“Mas, tembok kita tuh sakit. Udah enggak bisa cuma dilap-lap doang! Ini udah kronis!”
Pak Tono ngangguk pelan, “Iya, ini namanya tembok masuk angin…”
Nah loh, tembok masuk angin? Tapi dari situ, mereka sadar: ini bukan soal tampilan lagi. Ini soal kenyamanan dan kesehatan.
Tembok lembab bisa jadi sarang jamur, bakteri, bahkan bikin sesak napas. Ini “Health Hazard in Disguise” – musuh dalam selimut dinding.
Besok paginya, Pak Tono langsung ke toko bangunan. Dia ketemu sama Bang Ucup, si ahli tembok yang sudah memperbaiki dinding sejak zaman tukang masih dibayar pakai nasi bungkus.

“Bang,” kata Pak Tono, “tembok rumah saya lembab terus. Harus saya apain?”
Bang Ucup cengengesan, “Pertama, cek dulu sumbernya. Tembok lembab itu bukan karena kesepian. Bisa dari bocoran pipa, bisa dari air tanah naik, atau ventilasi yang jelek.”
Ini “Root Cause Analysis” – sebelum nyalahin dinding, cari dulu siapa pelakunya.
Mereka pun inspeksi. Ternyata, pipa air yang nyelip di balik tembok bocor kecil, tapi konsisten. Airnya netes pelan-pelan, kayak air mata mantan yang belum move on. Lama-lama meresap dan bikin tembok jadi drama queen.
“Langkah pertama: benerin bocorannya. Kalau nggak, percuma. Lo tambal hari ini, bocor lagi besok,” kata Bang Ucup sambil ngunyah gorengan.
Setelah pipa diperbaiki, langkah kedua adalah: keringkan tembok.
Bu Reni langsung pinjam hair dryer dari anak gadisnya. Tapi setelah dua jam, tagihan listrik mulai menyeramkan.
Ini “Short-Term Effort, Long-Term Damage” – solusi cepat yang nggak bijak.
Akhirnya mereka beli kipas angin besar dan buka semua jendela. Rumah jadi kayak sirkus angin. Tapi berhasil. Tembok mulai kering, walau rambut Bu Reni jadi kemasukan debu.
Langkah ketiga: lapisi ulang tembok dengan cat anti-lembab.
Ini bukan cat biasa. Mahal, tapi katanya tahan uap air, debu, dan emosi.
Pak Tono sempat protes harga catnya,
“Ini cat apa asuransi rumah, kok mahal?”
Tapi Bu Reni cuma bilang,
“Daripada tiap bulan beli cairan jamur dan kena ispa?”
Ini “Cost-Efficient Thinking” – keluar uang di awal, biar aman di akhir.
Langkah keempat: pasang ventilasi dan perbaiki sirkulasi udara.
“Angin itu bukan musuh. Dia temennya dinding,” kata Bang Ucup dengan gaya puitis.
Jadi, jendela ditambah, exhaust fan dipasang, dan rumah pun lebih cerah. Bahkan tetangga sampai nanya,
“Eh rumah lo sekarang kayak lebih lega ya? Apa abis pindahin setan?”
Dan yang terakhir, Bang Ucup ngasih wejangan pamungkas,
“Kalau tembok udah lembab bertahun-tahun, kadang solusinya bukan cuma ditambal. Bisa jadi harus dikerok total dan dibangun ulang.”
Ini “Radical Solution” – ketika semua cara udah mentok, ya mulai dari nol lagi.
Pak Tono dan Bu Reni saling pandang. Berat memang, tapi lebih berat lagi kalau tiap hari tinggal di rumah yang aromanya kayak gudang tua.
Mereka pun setuju untuk renovasi kecil-kecilan, pelan-pelan. Seminggu, dua minggu… sampai akhirnya rumah mereka bebas lembab. Jamur menghilang, cat jadi awet, dan paru-paru keluarga jadi lebih lega.
Kini, setiap orang yang datang ke rumah mereka selalu bilang,
“Wah, rumah kalian adem ya. Bersih, nggak apek.”
Dan Bu Reni pun tersenyum sambil jawab,
“Adem karena cinta dan ventilasi, Bu.”
Dari cerita ini, kita bisa simpulkan:
Apa yang harus dilakukan jika tembok lembab?
Cari sumber masalahnya.
Keringkan temboknya.
Gunakan pelapis tahan air.
Buka sirkulasi udara.
Dan kalau perlu, mulai dari nol.
Karena kadang, bukan tembok yang salah. Tapi kita yang terlalu lama membiarkan dindingnya menangis.
Jadi…
Kalau tembok rumahmu mulai berjamur dan berembun, mungkin sudah waktunya kamu berhenti ngelap dan mulai ngobrol sama rumahmu.
Tanyakan:
“Kamu baik-baik aja, tembok?”