Di suatu sore yang mendung, di sebuah rumah pinggiran kota yang cat temboknya udah kayak lukisan abstrak karena lembap, seorang bapak-bapak sedang berdiri dengan satu tangan pegang kopi, satu tangan garuk-garuk kepala.

“Ini dinding rumah apa spons mandi, sih? Lembap mulu!”
Dia mengomel sambil nengok ke dinding ruang tamu yang udah lebih cocok jadi kebun jamur ketimbang dekorasi interior.
Ini namanya “Awareness” – Mengakui masalah adalah langkah pertama.

Anaknya yang baru pulang kuliah arsitektur langsung nyeletuk,
“Pak, itu namanya kapilaritas. Air naik dari bawah karena fondasinya nggak tahan air.”
Bapaknya cuma ngangguk, pura-pura paham.
Ini namanya “Fake it till you make it” – Kalau nggak ngerti, minimal jangan panik.

Besok paginya, si bapak langsung manggil tukang.
Tukangnya datang dengan santai, bawa ember, sekop kecil, dan jurus rahasia.
Begitu liat dinding, dia nyengir.
“Wah, Pak. Ini mah penyakit lama. Dindingnya kurang napas.”
Si bapak bengong.
“Dinding bisa sesak napas juga?”
Tukangnya ketawa.
“Maksudnya, nggak ada ventilasi. Lembap, terus jamuran deh.”
Ini namanya “Root Cause Analysis” – Cari akar masalah, jangan cuma lap airnya doang.

Akhirnya mereka mulai diskusi.
Opsi pertama: tambahin ventilasi dan pastikan sinar matahari bisa masuk.
Opsi kedua: lapisi dinding luar pake waterproof coating.
Opsi ketiga: bongkar dan bangun ulang.
Si bapak langsung geleng.
“Opsi ketiga langsung dicoret. Dompet saya bisa lembap juga nanti.”
Ini namanya “Financial Prioritization” – Nyelametin tembok tanpa bikin dompet ikut bobrok.

Sore harinya, anaknya ikut nimbrung sambil bawa laptop.
“Nih, Pak. Ada cat anti-lembap. Mahal sih, tapi awet.”
Si bapak mengelus dagu.
“Kayak mantan, ya. Mahal dan awet di ingatan.”
Semua ketawa.
Ini namanya “Emotional Release” – Kadang ketawa lebih mujarab daripada tukang.

Beberapa hari kemudian, proyek kecil pun dimulai.
Tukangnya nambal retakan dengan semen anti air.
Anaknya ngecat pakai cat khusus anti-jamur.
Istrinya? Bikin kopi buat semua.
Ini namanya “Family Involvement” – Dinding lembap bukan cuma urusan tukang, tapi proyek keluarga.

Tapi eh, seminggu setelah semua selesai, dinding dapur masih basah.
Si bapak garuk kepala lagi.
“Apa jangan-jangan bocor dari atas, ya?”
Dia manjat genteng, dan bener aja, ada genteng yang geser!
Air hujan masuk pelan-pelan, bikin dinding nyesek.
Ini namanya “Cross-Checking” – Jangan terlalu fokus sama satu titik, bisa jadi biang keroknya dari tempat lain.

Setelah genteng dibenerin, ventilasi dibuka, dan dinding dicat ulang, akhirnya rumah itu bebas lembap.
Kopi sore bisa dinikmati tanpa aroma apek dan jamur.

Besoknya, si bapak nongkrong sama tetangga.
Tetangganya cerita,
“Rumah gue juga lembap tuh. Udah dicat ulang tapi balik lagi.”
Si bapak senyum bijak.
“Lo cuma obatin gejala, bro. Lo belum ngobatin sumbernya.”
Ini namanya “Wisdom Sharing” – Setelah melewati badai, jangan lupa ngajarin orang lain cara buka payung.

Dan tahu nggak pelajaran paling penting dari semua ini?

“Dinding basah bukan cuma soal rumah, tapi soal hidup.”
Kadang kita cuma ngelap permukaan, padahal luka aslinya di dalam.
Kadang kita nyalahin musim hujan, padahal genteng kita sendiri yang bocor.
Kadang kita berharap cat mahal bisa nutup masalah, padahal yang dibutuhin adalah ngobrol bareng keluarga sambil cari solusi bareng-bareng.

Akhirnya, si bapak berdiri di tengah ruang tamu yang kini kering, bersih, dan hangat.
Dia tepuk dindingnya pelan-pelan.
“Tenang ya, sekarang lo udah bisa napas lega.”
Ini namanya “Closure” – Bukan cuma buat mantan, tapi juga buat tembok rumah sendiri.

Jadi, kalau dinding rumah kamu basah, jangan panik.
Ngopi dulu.
Lihat ke langit-langit.
Buka jendela.
Panggil tukang.
Ajak keluarga ngobrol.
Dan yang paling penting, jangan cuma nutup noda, tapi bongkar masalahnya.

Karena kadang, dinding butuh disayang, bukan cuma dicat.

Sekian.
Dan semoga rumah kita, sama kayak hati kita – bisa bertahan di tengah lembapnya hidup.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *