Di sebuah kota kecil, ada seorang pria bernama Damar. Tiap kali migrain menyerang, hidupnya berubah 180 derajat. Dari yang tadinya ceria kayak MC kondangan, jadi kayak zombie yang habis patah hati.
Suatu hari, Damar lagi santai di taman, menikmati sore yang mendung sendu. Tiba-tiba, “DUAAAR!” — bukan petir, tapi migrain yang nyelonong tanpa permisi.
Dia langsung nutup mata, meremas kepala, dan bergumam,
“Astaga… Ini lagi, ini lagi.”
Nah, apa sih yang seharusnya dilakukan saat migrain kambuh?
Pertama-tama: Stop acting tough.
Migrain itu kayak tamu tak diundang yang gak ngerti kode. Mau dipaksa kuat juga percuma. Jadi, begitu migrain menyerang, Damar buru-buru cari tempat adem dan gelap. Bukan karena dia mau ngilang kayak ninja, tapi karena cahaya itu musuh besar saat kepala lagi ngamuk.
Ini namanya: Save your energy.
Jangan buang tenaga buat ngelawan rasa sakit yang jelas-jelas lagi nari breakdance di otakmu. Diam dulu, tenangin diri. Pikirkan ini sebagai momen “me time” yang sedikit… brutal.
Sambil rebahan di bangku taman, Damar mikir:
“Gue harus minum obat nih.”
Yup, minum obat segera itu kunci.
Bukan nunggu kepala pecah kayak semangka dilempar ke beton baru minum.
Karena dalam dunia migrain, timing itu segalanya.
Minum di awal serangan = peluang selamat lebih besar.
Nunda-nunda? Siap-siap aja berpelukan dengan kasur seharian.
Ini namanya: Act fast, live better.

Setelah obat tertelan dengan susah payah (karena tiap detik rasanya kayak final Piala Dunia antara mau muntah dan mau pingsan), Damar lanjut ke tahap berikutnya: hidrasi.
Migrain sering kali kayak sinyal tubuh yang bilang:
“Bro, lo dehidrasi parah.”
Maka, walau rasanya males banget, Damar maksa diri buat minum air putih. Pelan-pelan, seteguk demi seteguk, kayak bayi belajar minum susu.
Ini namanya: Listen to your body.
Kadang tubuh kita ngasih kode sederhana, tapi kita sendiri yang suka sotoy dan ngegas ke arah lain.
Lalu, setelah minum air, minum obat, dan bertapa di kegelapan, Damar melakukan hal paling penting: tidur.
Tapi, tunggu. Tidur saat migrain itu bukan tidur biasa. Ini lebih mirip kayak melakukan ritual kuno:
- Handphone dijauhkan (karena notif Instagram bisa bikin kepala makin berisik)
- AC disetel seadem hati gebetan pas ghosting
- Bantal diatur senyaman mungkin
- Pikiran dikosongkan (jangan mikirin cicilan atau mantan)
Ini namanya: Full shutdown.
Kadang, satu-satunya cara memperbaiki sistem yang error adalah… turn it off and on again. Dan tubuh kita, percayalah, butuh itu.
Besok paginya, Damar bangun.
Migrain udah kabur kayak maling dikejar satpam.
Tapi ada satu hal yang dia pelajari:
Migrain bukan cuma soal sakit kepala. Ini alarm keras dari tubuh yang bilang:
“Lo butuh istirahat. Lo butuh kasih sayang buat diri sendiri. Lo perlu slow down.”
Makanya, dari kejadian itu, Damar mulai menerapkan jurus-jurus tambahan:
- Kurangi kafein, walau kopi itu cinta sejati.
- Makan teratur, bukan skip sarapan kayak anak kos ngirit.
- Olahraga ringan, karena badan yang sehat bisa bikin otak lebih kuat.
- Manajemen stres, alias belajar bodo amat sama hal-hal yang nggak bisa dikontrol.
Ini namanya: Prevent before disaster.
Karena kalau cuma ngandelin jurus pas kambuh, ya kayak memperbaiki genteng pas hujan deras: udah telat, bro.
Damar juga akhirnya lebih berani ngomong ke orang-orang:
“Eh, gue lagi migrain, butuh istirahat ya.”
Tanpa rasa bersalah. Tanpa mikir orang bakal bilang dia lemah.
Karena sadar:
Self-respect kadang berbentuk sekecil tahu kapan harus berhenti maksa diri.
Jadi, kalau migrain kambuh, apa yang dilakukan?
Bukan ngotot kerja keras.
Bukan pura-pura kuat.
Bukan ngeluh panjang lebar di grup WA.
Tapi justru:
- Cari tempat gelap
- Minum obat cepat
- Hidrasi
- Shutdown total
- Dengarkan tubuh
- Jangan merasa bersalah buat istirahat
Dan yang paling penting… belajar dari situ.
Karena migrain, sesakit apapun, kadang datang buat ngingetin kita:
“Hei, hidup itu bukan lomba lari. Kadang, berhenti sejenak justru bikin lo menang lebih jauh.”
Akhir kata, buat kamu yang mungkin sekarang lagi tiduran sambil nahan migrain:
Tenang.
Istirahat.
Napas panjang.
Besok, matahari tetap terbit. Dan kamu? Kamu tetap berharga, dengan atau tanpa sakit kepal