Di sebuah rumah sederhana di ujung gang sempit, hiduplah seorang pria bernama Pak Wardi. Usianya sudah lewat kepala lima, rambutnya tinggal sebaris seperti tentara yang sedang apel pagi, dan hobinya adalah memandangi tembok rumah sambil mengeluh, “Kenapa lagi nih basah?”

Setiap musim hujan datang, drama pun dimulai. Dinding ruang tamu Pak Wardi berubah jadi papan lukis abstrak. Ada motif jamur, garis-garis basah, sampai peta dunia versi tembok. Kalau dicat ulang, motifnya hilang sebentar… lalu muncul lagi. Kayak mantan yang belum move on.

Ini namanya “Masalah Menahun” – Ketika tembok lebih setia pada kelembapan daripada pada lapisan catnya sendiri.

Suatu hari, datanglah tetangganya, si Roy yang sok tahu.

“Pak, udah coba pakai kapur bangunan? Itu loh, yang buat nyerap lembap.”

Pak Wardi melirik dengan malas, “Roy… yang saya butuh itu solusi, bukan bedak bayi buat tembok.”

Ini namanya “Know the Root” – Jangan cuma obatin gejala, cari penyebabnya dulu.

Setelah capek menambal dengan cat anti bocor, plastik kedap air, sampai doa-doa yang nggak ketemu dalilnya, Pak Wardi akhirnya pasrah dan memanggil tukang profesional. Namanya Bang Acim. Gayanya nyantai, tapi matanya tajam. Begitu lihat temboknya, dia langsung bersabda:

“Ini mah kena rembesan dari tanah, Pak. Dindingnya nyedot air kayak mantan nyedot pulsa.”

Ini namanya “Diagnosis Akurat” – Bukan sekadar tukang, tapi psikolog bangunan.

Bang Acim menjelaskan panjang lebar, sambil ngopi dan ngudud, bahwa solusi permanen itu bukan cuma lapis cat waterproof atau tempel wallpaper anti air. Kalau mau serius, harus dari pondasi. Harus ada lapisan anti lembap, atau istilah kerennya “waterproof membrane”, ditambah saluran drainase buat buang kelebihan air tanah.

“Tapi mahal, Bang?” tanya Pak Wardi sambil pegang dompet yang isinya cuma struk belanja dan satu recehan.

“Ya mahal, Pak. Tapi itu investasi. Mau murah tapi bolak-balik ngecat tiap tahun, atau sekali mahal, tidur tenang seumur hidup?”

Ini namanya “Choose Your Battle” – Hidup itu pilihan, antara ngirit sekarang tapi repot, atau keluarin duit sekarang tapi tenang.

Tapi jangan salah. Bang Acim juga kasih solusi level menengah. Katanya, kalau belum bisa bongkar pondasi, bisa juga pakai plester anti rembes, lapisi dengan semen aditif tahan air, lalu baru deh dicat dengan cat khusus tembok lembap.

“Terus, jangan lupa sirkulasi udara, Pak. Buka jendela tiap pagi. Kasih exhaust fan kalau perlu. Jangan tembok doang yang napas, Bapak juga harus fresh.”

Ini namanya “Prevention & Maintenance” – Perawatan itu bukan buat yang sakit doang, tapi biar nggak sakit.

Seminggu kemudian, setelah renovasi kecil-kecilan dengan strategi semi-permanen dari Bang Acim, dinding Pak Wardi mulai berubah. Jamur nggak nongol lagi, temboknya kering, dan yang paling penting: nggak ada lagi tamu yang bisik-bisik, “Ini rumah apa gua bawah tanah ya?”

Tapi ceritanya belum selesai.

Tiba-tiba datang lagi si Roy, dengan gaya detektif bangunan.

“Pak, sekarang udah mendingan ya? Tapi kalau saya sih, mending pasang wallpaper 3D motif bata, keren tuh.”

Pak Wardi cuma senyum.

“Roy… itu bukan solusi. Itu kamuflase. Kayak orang abis nangis terus pake kacamata hitam. Emang nggak kelihatan, tapi masalahnya tetap basah di dalam.”

Ini namanya “False Solution” – Jangan percaya solusi instan yang cuma menutup, bukan memperbaiki.

Akhirnya, pelajaran hidup dari Pak Wardi dan temboknya jelas: kelembapan bukan cuma urusan fisik, tapi mental juga. Butuh kesabaran, keberanian ambil keputusan, dan tentu… tabungan yang cukup.

Jadi, kalau kamu bertanya: Apa solusi permanen untuk dinding lembab?

Jawabannya bukan satu. Tapi kombinasi: pencegahan dari pondasi, bahan bangunan berkualitas, ventilasi yang baik, dan tukang yang paham. Sisanya? Doa, harapan, dan sedikit humor biar nggak stres tiap lihat tembok ngembun lagi.

Karena dalam hidup, kadang yang bikin lembap itu bukan cuma tembok… tapi kenangan juga.

Ini namanya “Philosophy of Renovation” – Ketika membenahi rumah, ternyata kita juga sedang membenahi cara pandang.

Dan sejak itu, setiap pagi, Pak Wardi berdiri di depan tembok sambil nyeruput kopi. Kali ini bukan untuk ngeluh… tapi untuk bersyukur.

“Alhamdulillah, akhirnya tembok ini berhenti nangis. Sekarang tinggal saya yang belum.”

Senyum. Lalu balik badan, masuk rumah.

Temboknya? Masih berdiri kokoh. Kering. Tenang. Damai.
Dan siap jadi saksi hidup cerita-cerita baru yang jauh dari bau jamur.

Ini namanya: Solusi permanen.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *