Di suatu pagi yang mendung dan wajah belum sempat kena skincare, terdengarlah suara keluhan yang lebih dramatis dari sinetron jam tujuh malam.

“Aduh… pala aku nyut-nyutan dari kemarin. Ini migrain atau karma masa lalu sih?!”

Nah, ini bukan kisah horor, tapi realita jutaan umat manusia yang hidup berdampingan (paksa) dengan migrain. Tapi… tunggu dulu. Migrain yang muncul sekali dua kali sih masih bisa disayang-sayang. Tapi kalau udah kayak mantan yang nggak tahu diri—datang terus tanpa undangan dan nggak mau pergi—itu beda cerita.

Ini namanya “Uninvited Guest” – Sakit kepala yang ngerasa rumah lo tuh kos-kosan dia!

Migrain yang tidak kunjung berhenti—atau dalam istilah medisnya disebut chronic migraine—adalah kondisi di mana kepala kita berasa kayak ada orkestra marching band, main tiap hari, minimal 15 hari dalam sebulan. Dan ini bisa bertahan selama berbulan-bulan. Bahkan bertahun-tahun kalau dibiarkan.

Gejalanya? Jangan ditanya. Mulai dari nyeri berdenyut di satu sisi kepala, mual, muntah, sensitif terhadap cahaya dan suara, bahkan kadang bikin kita pengen pindah ke goa dan meditasi sepanjang hidup.

Ini namanya “Drama King Headache” – Bukan cuma sakit, tapi nyuruh kita ikut casting sinetron juga!

Tapi kenapa bisa terjadi?
Ah, ini dia. Migrain kronis bukan penyakit jahat yang datang tiba-tiba kayak cicilan. Dia seringkali hasil dari pola hidup yang… yah, mari kita bilang “kurang diajak kompromi”.

Begadang nonton drama sampai subuh?
Sarapan gorengan dan kopi tubruk tanpa air putih?
Stres karena kerjaan, pasangan, dan deadline hidup yang tak kunjung lunas?

Ini namanya “Lifestyle Bomb” – Kebiasaan kecil yang meledak besar!

Dan parahnya, kadang kita denial. Kita bilang, “Ah, cuma kecapekan kok.” Padahal itu kepala udah neriakin, “TOLONGIN GUE!”

Nah, migrain kronis juga bisa jadi sinyal dari tubuh kalau ada masalah yang lebih serius. Misalnya, ketidakseimbangan hormon, gangguan saraf, bahkan efek dari terlalu sering minum obat sakit kepala. Iya, lo nggak salah baca. Obat migrain yang lo andelin tiap minggu itu, bisa jadi penyebab migrain makin betah!

Ini namanya “Reverse Psychology” – Makin dideketin, makin nyakitin!

Lalu, gimana cara mengatasinya?

Pertama-tama, kenali polanya. Migrain itu ibarat pacar toxic—dia datang kalau kita nggak bisa baca kode. Catat kapan munculnya, habis makan apa, habis ngapain. Kadang, cuma karena kurang minum air putih seharian aja bisa langsung nyut-nyut.

Kedua, mulai ubah gaya hidup. Kurangi konsumsi makanan tinggi MSG, minuman berkafein, alkohol (kalau ada), dan yang terpenting: kurangi drama.

Ini namanya “Detox Drama” – Kadang, bukan makanan yang bikin sakit, tapi kehidupan!

Ketiga, coba teknik relaksasi. Yoga, meditasi, tidur cukup, dan… menarik napas dalam-dalam waktu dompet tinggal receh. Semua itu bisa bantu otak kita nggak terus-terusan ngirim sinyal stres.

Dan terakhir, jangan anggap enteng. Kalau migrain lo udah mengganggu aktivitas sehari-hari, waktunya konsultasi ke profesional. Nggak usah sok kuat. Pahlawan juga butuh healing, bro!

Ini namanya “Mental Maintenance” – Perawatan kepala lebih penting dari perawatan motor!

Migrain kronis bukan cuma sakit fisik. Dia bisa menggerogoti semangat, produktivitas, bahkan hubungan sosial. Nggak sedikit orang yang jadi emosian, gampang tersinggung, atau malah menarik diri dari pergaulan karena mikir, “Nggak ada yang ngerti rasanya.”

Padahal, mungkin dia cuma butuh satu kalimat: “Yuk, ke dokter bareng. Biar kita ngerti ini kepala maunya apa.”

Ini namanya “Support System” – Kadang yang lo butuh bukan obat, tapi temen jalan ke klinik!

Jadi, kalau lo lagi ngerasa hidup lo kayak diputar ulang tiap hari: bangun tidur, kepala nyut-nyut, kerja setengah sadar, malamnya ngeluh dan berharap besok lebih baik tapi enggak juga—bisa jadi itu bukan lelah biasa.

Mungkin itu migrain.
Mungkin itu alarm tubuh.
Atau mungkin… itu sinyal dari semesta buat lo istirahat dan mulai lebih sayang sama diri sendiri.

Karena kepala yang terlalu dipaksa kerja tanpa dimengerti itu kayak mesin mobil dipake balapan tapi oli nggak diganti—cepat atau lambat, jebol juga.

Ini namanya “Head Respect” – Kalau lo nggak dengerin kepala lo, dia bakal nyuruh lo berhenti… dengan caranya sendiri.

Jadi, bukan soal seberapa kuat lo tahan sakit kepala itu. Tapi seberapa sadar lo bahwa hidup sehat bukan bonus… tapi kewajiban. Dan migrain itu, cuma tamu—yang kalau lo ngerti cara mengusirnya, dia bakal pergi. Pelan-pelan, tapi pasti.

Dan ketika kepala akhirnya diam… lo akan tahu, ternyata hidup bisa sesepi itu, dan sesyukur itu.

Kalau hidup adalah panggung, migrain bukan bintang utama.
Dia cuma pemeran figuran yang minta perhatian lebih.
Lo yang tentuin: mau dia terus di sana, atau gantian lo yang bersinar.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *