Di suatu kampung bernama Tembok Indah, ada seorang bapak-bapak bernama Pak Sarwan. Umurnya 53 tahun, rambut udah tipis tapi semangat masih kayak anak magang baru gajian. Suatu hari, beliau lagi duduk di teras sambil ngelihatin dinding rumahnya yang mulai rembes, kayak air mata mantan pas lihat kita bahagia.

Pak Sarwan garuk-garuk kepala, bukan karena kutu, tapi mikir keras:
“Ini dinding kalau makin rembes, lama-lama bisa jadi aku yang rembes!”

Tetangganya, Mas Darto, yang kebetulan lewat, nyeletuk:
“Coba disemprot pelapis anti air yang dijual online, Pak!”

Pak Sarwan mendelik.
“Harganya berapa?”

“Yang murah sih, dua ratus ribuan.”

Pak Sarwan langsung refleks ngelus dompet. Dompetnya diem aja, nggak ada suara sama sekali. Sunyi senyap, seperti hati mantan yang udah move on.

Akhirnya Pak Sarwan mutusin untuk menerapkan ilmu ekonomi level RT RW:
“Kedap air, tapi tetap hemat. Bisa enggak ya?”

Episode 1: Petualangan Ember dan Sabut Kelapa
Langkah pertama yang Pak Sarwan tempuh adalah riset ala rakyat jelata. Bukan buka Google, bukan tanya arsitek. Beliau lebih milih nongkrong di warung kopi dan ngobrol sama senior-senior warga yang punya jam terbang tinggi dalam urusan tembok dan rerembesan.

“Kalau mau dinding enggak rembes, cat dulu pakai semen dicampur lem kayu, Bang!” kata Bang Udin yang pernah bangun lima rumah sebelum tahun reformasi.

Pak Sarwan pun beli semen satu sak, lem kayu sebotol, dan pakai sabut kelapa bekas buat ngolesin.
Satu dinding dikerjakan dua hari. Hasilnya? Lumayan. Rembesnya pindah… ke dinding sebelah.

Episode 2: Serangan Plastik Kresek dan Kaleng Bekas
Belum menyerah, Pak Sarwan mencoba metode baru. Kali ini idenya datang dari anak bungsunya, Didi, yang hobi eksperimen.

“Pak, gimana kalau bagian dalam temboknya dilapisi plastik kresek?”

Pak Sarwan sempet mikir anaknya kerasukan YouTuber DIY. Tapi dicoba juga. Plastik dilapisi, dilem, terus ditutup pakai triplek bekas. Ditambah hiasan dari kaleng susu, biar estetik.

Ternyata… berhasil. Dinding jadi kedap air, walau bentuknya mirip karya seni abstrak yang bikin orang mikir, “Ini tembok atau instalasi seni kontemporer?”

Episode 3: Strategi Daun Talas dan Air Ajaib
Suatu malam, Pak Sarwan nonton acara TV yang menampilkan daun talas yang bisa menolak air. Matanya langsung berbinar.

Keesokan paginya, beliau nyari daun talas, ditumbuk, dicampur air, terus digosokkan ke dinding. Harapannya: dinding bisa sekuat daun talas.
Nyatanya: cuma bikin tembok bau sayur lodeh basi.

Anaknya nyeletuk:
“Pak, itu bukan anti air, itu anti tetangga datang…”

Episode 4: Solusi Sakti Tapi Sederhana
Akhirnya, setelah berbagai drama dan eksperimen level Profesor TikTok, Pak Sarwan menemukan resep termurah tapi cukup jitu:

  • Semen putih + lem kayu (biaya sekitar 30-40 ribu)
  • Lapisan cat waterproof lokal (bukan yang branded, cuma 70 ribuan per kaleng)
  • Tambahan abu gosok dan pasir halus buat bikin tekstur lebih tahan lama

Semua dicampur dengan hati-hati, diaduk sambil menggumam doa anti-rembes. Dinding dilapisi dua kali. Hasilnya? Kedap air, tampilan lumayan, dan yang paling penting: irit parah!

Total biaya? Enggak sampai 150 ribu buat satu sisi dinding. Lebih murah daripada langganan WiFi sebulan.

Moral of the Tembok
Dari kisah Pak Sarwan, kita belajar bahwa:

Kreativitas rakyat kecil itu luar biasa. Asal ada kemauan, pasti ada jalan, bahkan kalau jalannya becek.

Tidak semua solusi harus mahal. Kadang, yang murah justru lebih menyentuh dompet dan nurani.

Dan yang terpenting: dinding bisa kedap air, tapi hati jangan. Biar tetap bisa meresapi kehidupan.

Jadi, kalau kamu nanya apa cara termurah untuk membuat dinding kedap air? Jawabannya bukan di toko bangunan mahal. Tapi di hati yang mau usaha, tangan yang mau kotor, dan akal yang enggak malu jadi kreatif.

Karena seperti kata Pak Sarwan di akhir perjuangannya:

“Kalau hidup aja bisa diakalin, masa tembok nggak?”

Siapa sangka, dinding bisa jadi guru kehidupan juga.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *