Di suatu pagi yang tidak begitu cerah dan tidak begitu mendung, muncullah seorang tokoh legendaris bernama Budi, manusia biasa dengan keahlian luar biasa: ahli pura-pura tenang saat kepalanya serasa dihantam palu godam.
Budi baru saja bangun dari tidur siangnya yang tak sampai lima menit. Tapi bukannya segar, yang dia dapet malah sensasi seperti dipeluk kenangan mantan—nyesek dan bikin pusing. Migrain.
Dengan mata separuh terbuka, Budi langsung panik. Soalnya, sore itu dia harus presentasi di depan bos besar, yang kalau ketawa pun kedengerannya kayak suara printer rusak.
“Waduh, ini mah harus cepet ilang, jangan sampe kayak minggu lalu. Presentasi sambil migrain, hasilnya malah nyodorin laporan laundry ke direktur keuangan,” gerutu Budi.
Lalu dia buka HP, ngetik: “cara tercepat menghilangkan migrain.”
Dan muncullah daftar panjang solusi. Tapi karena Budi bukan pembaca sabar, dia langsung skip yang panjang-panjang dan pilih yang paling singkat. Ini namanya: Decision Under Pressure – Pilihan tercepat bukan berarti terbaik, tapi paling mungkin di tengah kepepet!
Solusi 1: Kompres dingin
Budi buka kulkas, ngeluarin es batu sisa semalam. Tapi sial, esnya nempel sama nugget. Akhirnya dia kompres dahi pake plastik isi nugget beku.
Ini namanya “Creativity in Desperation” – Saat penderitaan butuh kreativitas juga.
Lima menit berlalu. Migrain masih ada. Tapi minimal, wajahnya jadi sedingin hati gebetan waktu ditanya “kita ini sebenernya apa?”
Solusi 2: Kopi
Konon katanya, kafein bisa bantu meredakan migrain. Budi langsung bikin kopi kental, tanpa gula. Dia minum sambil merem dan ngebayangin dirinya udah presentasi dengan gemilang.
Tapi baru seteguk, perutnya protes.
“Bro, lo tuh bukan iklan minuman energi! Baru bangun tidur langsung kopi hitam?”
Ini namanya “Side Effect Awareness” – Kadang solusi cepat punya efek samping yang nggak cepat ilang.

Solusi 3: Ruangan gelap dan tenang
Budi masuk kamar, matiin lampu, dan tutup gorden. Tapi dia lupa satu hal… kamarnya sebelahan sama rumah tetangga yang pelihara burung murai bersuara sopran.
“Cuit! Cuit! Cuiiitt!!”
Migrainnya makin nge-jazz.
Ini namanya “Environmental Sabotage” – Ketika solusi gagal bukan karena salah cara, tapi karena semesta punya selera humor sendiri.
Solusi 4: Tarik napas dalam-dalam
Katanya sih, napas dalam bisa bantu relaksasi. Budi coba. Tarik… buang… tarik… buang…
Lalu tiba-tiba ibunya lewat sambil teriak:
“Mas Budi, cucian udah kering tuh! Jemurannya ambilin ya, awan udah item tuh!”
Budi ngelus dada. Migrainnya belum ilang, tapi sekarang dia juga keringetan.
Ini namanya “Real Life Interruption” – Di dunia nyata, bahkan meditasi pun bisa diganggu tugas domestik.
Solusi 5: Obat
Akhirnya, dalam kondisi genting, Budi buka laci. Ada satu tablet sisa obat migrain dari dua bulan lalu.
Setelah perenungan 3 detik dan tidak ada waktu untuk baca tanggal kedaluwarsa, dia telan juga.
Lima belas menit kemudian…
Migrainnya mulai menipis, presentasi tinggal dua jam lagi, dan dia mulai bisa senyum meski kecut.
Ini namanya “When all else fails, medicate!” – Kadang solusi tercepat memang butuh bantuan farmasi. Tapi harus tetap bijak dan tahu batasnya, ya!
Presentasi pun dimulai.
Budi berdiri di depan layar, pointer di tangan, rambut masih basah karena kompres nugget yang bocor.
Dia buka dengan kalimat:
“Selamat sore. Sebelum saya mulai, saya ingin ucapkan terima kasih… kepada parasetamol.”
Semua ruangan ketawa. Termasuk bos besar yang biasanya cemberut kayak dispenser rusak.
Budi melaju mulus. Slide demi slide. Sampai akhirnya, presentasi selesai tanpa kepala berdenyut lagi.
Di ruangannya, Budi nyender.
“Kadang cara tercepat bukan cuma soal apa yang kita minum atau tempel di dahi. Tapi juga soal siapa yang kita hadapi, dan bagaimana kita ngetawain rasa sakit sesekali.”
Ini namanya “Pain with Purpose” – Bahkan migrain pun bisa jadi bahan ketawa, asal kita nggak larut di dalamnya.
Jadi, apa cara tercepat untuk menghilangkan migrain?
Jawabannya: tergantung situasi. Kadang kompres dingin cukup, kadang butuh obat. Tapi seringkali, yang paling ampuh justru kombinasi dari semuanya… ditambah sedikit humor dan penerimaan.
Karena kalau hidup kita terlalu serius, bahkan migrain pun bisa jadi drama Korea episode 78. Tapi kalau kita bisa nyengir sedikit, sakit kepala pun mungkin akan mikir dua kali sebelum mampir.
Dan buat Budi? Migrain sore itu bukan cuma tantangan, tapi latihan jadi manusia yang bisa tetap berdiri—meski kepalanya lagi berdentam kayak konser rock mini.
Ini namanya “Resilience with Style” – Ketangguhan yang dibumbui gaya, disiram kopi, dan sedikit nugget beku.
Siapa bilang migrain nggak bisa lucu?