Di sebuah negeri yang tak tercantum di Google Maps, tinggallah seorang pria bernama Dion, pekerja kantoran yang hobi galau di depan vending machine tiap jam makan siang. Antara milih kopi hitam atau teh tarik saja butuh waktu lima menit. Bayangkan gimana galaunya saat harus memilih: pindah kerja ke kota lain atau tetap bertahan di zona nyaman?
Suatu hari, kantor Dion mengumumkan ada peluang promosi besar—syaratnya: pindah ke kantor cabang di Borneo. Gajinya naik, status makin kece, tapi jauh dari keluarga dan zona nongkrong favorit. Dion pun dilanda dilema akut.
“Gue tinggal mutusin doang… tapi kok kayak mau milih pasangan hidup ya?” gumamnya sambil ngelamun di toilet kantor.
Ini namanya “Decision Paralysis” – ketika otak lu overthinking sampai kayak laptop RAM 2GB disuruh buka Photoshop.
Lalu muncullah Beni, temen sekantor yang udah tiga kali pindah kerja dalam setahun.
“Bro, dengerin gue deh. Kalau mau bikin keputusan, jangan terlalu mikir untung rugi doang. Liat juga siapa lu dan lu pengen jadi siapa.”
Dion bengong. “Maksudnya, Ben?”
Beni nyengir. “Gue juga bingung sih, tapi kedengeran bijak kan?”
Ini namanya “Fake it till you make it” – kadang, omongan bijak datang dari mulut yang bahkan belum bayar cicilan.
Tapi omongan itu bikin Dion mikir. Selama ini dia terlalu sibuk nimbang risiko, lupa nanya ke diri sendiri: “Gue maunya apa, sih?” Maka malam itu, Dion duduk dengan kertas kosong dan mulai menulis.
- PRO: gaji naik, pengalaman baru, tantangan karier
– KONTRA: jauh dari orang tua, mulai dari nol, takut sepi
Setelah selesai nulis, Dion lihat hasilnya… dan makin bingung.
Ini namanya “Data Overload” – saat fakta malah bikin pusing, bukan menenangkan.
Besoknya, dia curhat ke Mbak Ina, resepsionis yang terkenal suka ngasih nasihat ala ibu-ibu majelis taklim.
“Kamu tuh, Nak, jangan takut salah. Keputusan itu bukan ujian sekolah yang ada kunci jawabannya. Hidup itu kayak naik sepeda, kamu belajar sambil jalan.”

Dion manggut-manggut. “Tapi Mbak… kalau gue salah pilih?”
Mbak Ina nyengir sambil nyuapin burung peliharaan. “Ya jatuh. Tapi bisa naik lagi, toh?”
Ini namanya “Trust the process” – percaya sama proses, bukan hasil instan.
Akhirnya, Dion bikin langkah berani: dia ambil promosi itu. Bukan karena yakin 100%, tapi karena sadar, keraguan nggak akan hilang kalau cuma dipelototin. Harus dilangkahi.
Tiga bulan kemudian, Dion ngirim foto di grup kantor: dia duduk di teras rumah dinasnya di Borneo, senyum lebar sambil minum es kelapa muda.
Caption-nya simpel:
“Masih bingung tiap makan siang, tapi kali ini antara nasi goreng nanas atau ayam pansuh. Hidup terus jalan, Bro.”
Dan grup kantor pun rame balasan:
“Anjay! Lo keren, Don!”
“Ajarin dong cara berani ngambil keputusan!”
“Gue masih galau milih antara resign atau resign…”
Dion cuma balas:
“Jangan tunggu yakin banget baru mulai. Kadang keberanian itu datang setelah kita udah jalan.”
Ini namanya “Action breeds clarity” – kejelasan itu muncul setelah kita bertindak, bukan sebelum.
Jadi, buat lo yang lagi duduk depan dua pilihan hidup dan galau kayak Dion dulu, inget:
Keputusan sulit itu wajar. Yang bikin beda adalah lo pilih diem nunggu kepastian, atau jalan sambil bawa payung, meski langit belum hujan.
Karena pada akhirnya, bukan keputusan yang menentukan lo siapa. Tapi cara lo berdiri tegak setelah mengambilnya.
Dan hey… kalau salah jalan? Ya tinggal muter balik. Selama masih hidup dan punya pulsa, semua bisa diperbaiki.
Jadi… lo nunggu apalagi?