Di sebuah kota kecil yang katanya tenang—tapi nyatanya penuh drama medis ala sinetron—terjadi insiden kecil yang bikin heboh satu gang. Namanya Bu Minah, ibu-ibu legendaris yang tiap pagi rajin nyapu jalanan pakai daster motif bunga dan semangat yang nggak pernah padam, tiba-tiba teriak dari depan rumahnya:
“Woy! Ada yang punya plester nggak?! Yang bening! Yang tahan air! Bukan yang sobek kena keringat doang!”
Teriakan itu bikin semua tetangga keluar rumah, kayak lagi ada obral sembako. Tapi yang keluar bukan buat bantu, lebih karena penasaran.
Ini namanya “Curiosity is Free Entertainment” – Rasa ingin tahu itu hiburan paling murah meriah.
Ternyata si Bu Minah habis luka kecil gara-gara jatuh waktu nyiram tanaman. Luka sepele. Tapi Bu Minah ini mantan anggota marching band zaman SMA, jadi kalau luka ya harus ditangani dengan semangat dan seremonial.
“Gue butuh plester yang nggak copot kalau kena air, soalnya mau nyuci nanti!” katanya, sambil ngeraba-luka kayak baru selesai operasi.
Ini namanya “Dramatic Hygiene” – Luka kecil, tapi penanganannya kayak cedera pemain bola final piala dunia.
Lalu muncullah si Ucup, anak muda pengangguran tapi ahli dalam segala hal yang nggak penting.
“Bu, itu namanya transparent waterproof bandage, kadang disebut juga film dressing. Plester bening, tahan air, dan bisa nempel kayak mantan yang nggak bisa move on!”
Si Bu Minah nyengir setengah takjub, setengah bingung.
“Yang penting tahan air, Cup. Jangan yang model begini—” katanya sambil nunjukin plester cokelat lecek di lengan, “baru kena sabun aja udah letoy.”
Ini namanya “Don’t Trust Looks” – Plester bening belum tentu kuat, tapi yang bening dan tahan air? Itu baru juara!

Tiba-tiba si Pak RT datang, sok bijak, sambil bawa map isi rapat warga.
“Bu Minah, itu biasanya mereknya Tegaderm, Opsite, atau Nexcare. Itu bukan plester biasa. Itu mah udah level rumah sakit. Mahal, Bu, mahal.”
Ini namanya “Product Knowledge from Nowhere” – Tahu barang tapi nggak pernah beli.
Bu Minah melongo. “Yah, pantes aja di warung nggak ada.”
“Jelas, Bu,” Ucup nyeletuk. “Di warung mah adanya yang tiga ribuan isi sepuluh. Digunakan, lalu dilepasin pas kena air. Kayak janji politisi.”
Ini namanya “Political Satire in Daily Life” – Sindiran politik bisa nyelip di mana aja, termasuk luka kecil.
Tapi si Bu Minah nggak habis akal. Dia buka kulkas, ambil plastik wrap bekas tutup semangka, terus lilit luka di tangannya.
“Daripada nggak tahan air, kita akalin aja. Ini namanya plester darurat!”
Ucup kagum. “Bu Minah, Anda legenda hidup. Ini levelnya DIY survival!”
Ini namanya “Creativity Under Pressure” – Kalau nggak ada alat, akal yang jalan.
Besoknya, entah kenapa, seantero komplek jadi demam plester bening. Ibu-ibu pada googling: plester bening anti air namanya apa? dan muncullah nama-nama keren macam transparent film dressing dan waterproof wound dressing. Bukan cuma buat luka, katanya juga buat tato biar nggak iritasi, bahkan dipakai atlet renang biar luka nggak basah.
“Eh, ini bisa buat jerawat juga, loh!” kata anak SMA yang baru nongol dari pojokan.
Ini namanya “Cross-Functionality” – Satu barang, sejuta manfaat, kayak minyak kayu putih.
Tapi tetap, bagi warga komplek itu, plester bening anti air tetap punya satu nama sakral: “Plester Bu Minah.”
Karena dari tangan beliaulah sejarah kecil itu bermula.
Dan hari itu, semua orang sadar: luka kecil bisa menyatukan banyak kepala. Dari anak muda mager, ibu-ibu julid, sampai Pak RT yang hobi rapat, semua bisa satu suara kalau urusan plester bening.
Jadi, kalau ada yang tanya, “Plester bening anti air namanya apa?”
Jawab aja: Tergantung. Mau yang murah meriah? Ada. Mau yang tahan segala medan? Juga ada. Tapi kalau mau legendaris, belilah ‘Plester Bu Minah’. Nggak dijual di apotek, cuma bisa didapat di tengah krisis dan kejeniusan.
Ini namanya “Naming Beyond Brand” – Kadang yang penting bukan mereknya, tapi kisah di baliknya.
Dan ingat:
Di dunia yang penuh luka, entah fisik atau batin, yang kita butuh kadang cuma selembar plester yang bisa nempel kuat. Atau minimal, plastik wrap dan semangat pantang menyerah.
Begitu doang ceritanya.
Dan entah kenapa, luka kecil itu sembuh lebih cepat.
Mungkin karena tawa.
Atau mungkin karena plester.
Siapa tahu?